REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 5,8 persen, sebagaimana kesepakatan sementara pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2015 antara pemerintah dan DPR, perlu dipertimbangkan sejumlah aspek.
Dari sisi global, rencana the Fed (Bank Sentral AS) menaikkan suku bunga lantaran perbaikan indikator ekonomi negeri Paman Sam, tentu akan diikuti kenaikan suku bunga acuan di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Hal tersebut, belum ditambah kemungkinan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang diproyeksikan akan terjadi di awal masa pemerintahan presiden terpilih, Joko Widodo.
"Harga BBM dinaikkan, inflasi akan naik. Suku bunga akan menyesuaikan, maka pertumbuhan tidak akan setinggi yang kita harapkan. Tapi saya optimis masih tetap di atas lima persen," kata Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan Firmanzah kepada Republika.
Dari sisi domestik, aspek lain yang mutlak dicermati adalah pelarangan ekspor mineral tambang mentah. Ini merupakan amanat UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Kebijakan ini, diikuti oleh pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian barang tambang (smelter) yang diperkirakan belum bisa berproduksi tahun depan.
"Kemungkinan dua tahun lagi, setelah itu ekspor dan nilai tambah berjalan baik. Tapi, sementara waktu, tidak seperti yang kita harapkan," ujar Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tersebut.
Sebagai gambaran, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II 2014 mencapai 5,12 persen. Melambat dibanding kuartal I 2014 yang tercatat 5,21 persen. Secara kumulatif, dalam APBN Perubahan 2014, pertumbuhan ekonomi ditetapkan 5,5 persen.
Sejak 2001, ekonomi Indonesia mengalami perlambatan. Jika pada 2011 ekonomi bertumbuh 6,5 persen, pada 2012 menyusut menjadi 6,2 persen dan 5,6 persen per tahun lalu.