Rabu 24 Sep 2014 20:13 WIB

Ini Tantangan Ekonomi Pemerintahan SBY-JK

Rep: nuraini/ Red: Taufik Rachman
Bambang Sudibyo
Bambang Sudibyo

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla dihadapkan pada ekspektasi publik yang besar. Padahal, perekonomian pada masa pemerintahan mereka ditantang sejumlah permasalahan yang berasal dari keseimbangan ekonomi eksternal dan internal.

Dengan ekspektasi publik yang lebih besar dari pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY)-Boediono, Guru Besar UGM, Bambang Sudibyo yang juga mantan menteri keuangan, memberi masukan bagi Jokowi-JK.

"Kalau mereka berdua salah ambil langkah, nasibnya bisa seperti SBY, kepercayaan publik yang merosot membuat kelihatan sekali beliau (SBY) gamang dalam mengambil kebijakan publik," ujar Bambang ditemui dalam pertemuan editor yang digelar Bank BCA di Jakarta, Rabu (24/9).

Ekonomi Indonesia, kata Bambang, menghadapi permasalahan keseimbangan eksternal dan internal yang sangat rentan. Indikator keseimbangan eksternal seperti neraca perdagangan, neraca pembayaran, hingga nilai tukar rupiah dinilai lemah dan rentan. "Ruang fiskal sangat sempit," ujar Bambang.

Indikator keseimbangan internal seperti inflasi juga dinilai rentan. Bank Indonesia menilai target inflasi masih bisa dicapai pada 3,5 persen sampai 4,5 persen. Namun, Bambang mengingatkan Jokowi-JK akan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) yang memicu inflasi.

Inflasi dalam negeri tetap rentan karena infflasi dasar (core inflation) tinggi akibat infrastruktur tak memadai. Aliran barang dan jasa dinilai Bambang tersendat karena managemen energi dan pangan yang amburadul dan sarat kepentingan. "Padahal, energi dan pangan ini bobotnya dalam inflasi tinggi," ujarnya.

Dengan kondisi ekonomi yang rentan, pemerintahan Jokowi-JK dinilai perlu memperbesar ruang fiskal. Tantangan itu mendapat dua masalah yakni pendapatan dimana rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) rendah dan impor minyak yang besar. "Saat saya jadi menkeu, tax ratio terhadap PBD tahun 2000 sebesar 12 persen, sekarang juga masih segitu," ujarnya.

Untuk menaikkan rasio pajak, struktur organisasi rezim perpajakan dinilai perlu dibenahi. "Lepaskan dirjen pajak dan bea cukai dari Kementerian Keuangan jadi badan langsung di bawah presiden," ujarnya. Dengan kebijakan itu, Badan Pajak dan Bea Cukai hanya berwenang untuk memungut pajak, tapi tidak mengeluarkan aturan.

Masalah kedua, keseimbangan eksternal ekonomi buruk karena impor minyak besar. Produksi minyak dalam negeri justru diekspor dan kebutuhan dalam negeri didapat dari impor. "Mengapa kita tidak bangun kilang?" ujar Bambang.

Masalah kedua tersebut dinilai perlu diatasi dengan memberantas mafia migas. "Itu benalu ekonomi terbesar yang sebabkan ekonomi tidak stabil," ujar Bambang.

Jika masukan Bambang tersebut dilakukan Jokowi-JK, dia yakin ruang fiskal bisa melebar. Dengan demikian, Bank Indonesia bisa pelan-pelan menurunkan suku bunga acuan. "Kalau itu terjadi, akan rancak kembali investasi," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement