Selasa 23 Sep 2014 17:28 WIB

Indonesia tak Punya Pekerja Sektor Migas Bersertifikat Internasional

Rep: Ita Nina Winarsih/ Red: Ichsan Emerald Alamsyah
Ladang migas
Foto: Antara
Ladang migas

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Koordinator Perekonomian, mengklaim pekerja Indonesia di sektor migas laut dalam yang memiliki sertifikasi internasional masih nihil. Akibatnya, daya tawar para pekerja tersebut sangat rendah. Bahkan, parahnya lagi mayoritas industri migas tanah air didominasi oleh pekerja impor.

Deputi Bidang Koordinasi Peniagaan dan Kewirausahaan Menko Perekonomian Edy Putra Irawady, mengatakan, sangat prihatin dengan kondisi ini. Sebab, Indonesia tak memiliki SDM sektor migas yang mengantongi sertifikasi internasional.

"Bahkan, sekelas juru tarik tali sektor migas laut dalam, itu harus diisi oleh tenaga impor," ujarnya di Hotel Borobudur, Selasa (23/9).

Investor migas di Indonesia ini, lanjutnya, didominasi perusahaan asing. Karena itu, mereka lebih memilih memekerjakan tenaga yang sudah mengantongi sertifikat internasional. Seperti dari Bangladesh maupin Filipina.

Kalaupun ada SDM lokal yang dipekerjakan, lanjutnya, upahnya sangat murah. Antara 300-500 USD. Sedangkan, juru taril tali migas laut dalam asal Bangladesh atau Filipina, upahnya antara 1.500-1.600 USD.

"Jelas sangat timpang," ujarnya.

Kondisi tersebut, hanya sebagian contoh kecil yang terjadi di sektor logistik Indonesia. Pada pemerintahan baru mendatang, pihaknya sangat menggantungkan harapan supaya sektor logistik bisa dibenahi.

Sebab, untuk menunjang keberhasilan sektor ini, diperlukan SDM yang mumpuni. Karena itu, SDM yang ada harus didorong untuk mengantongi sertifikat bertaraf internasional. Dengan sertifikat ini, berarti pekerja Indonesia memiliki kualitas yang setara dengan negara lain.

Untuk menuju ke sana, pihaknya telah melakukan serangkaian terobosan. Salah satunya, sudah kerja sama dengan London dan Unilever. Kerja sama ini, terkait dengan upaya mendapatkan sertifikasi internasional bagi para pekerja migas tanah air.

"Selain itu, pemerintahan Jokowi-JK mendatang, harus bisa meminimalisasi kebijakan yang tumpang tindih di sektor logistik ini," jelasnya.

Sementara itu, Kepala Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM, Kuncoro Harto Widodo, mengatakan, pihaknya ingin ada upaya untuk lebih membumikan lagi kontribusi sistem logistik nasional. Salah satunya, pemerintah kedepan harus berani menggunakan sistem pengambil keputusan berbasil spasial (SDSS).

"SDSS ini, terkait dengan perencanaan kebijakan angkutan barang (logistik) perkotaan," ujarnya.

Karena, lanjutnya, masalah logistik di Indonesia sangat dipengarahui oleh infrastruktur. Saat ini, kenapa biaya produk dalam negeri lebih mahal, sebab //cost// untuk logistiknya saja tinggi.

Dia menyontohkan, dari Cikarang ke Tanjung Priok jaraknya sekitar 55,4 KM. Tetapi, biaya yang harus keluar mencapai 750 USD. Sedangkan di Malaysia, dengan jarak yang sama, biayanya hanya 450 USD.

Dengan begitu, untuk meminimalisasi biaya distribusi logistik tanah air ini, perlu dibangun infrastruktur yang memadai. Selain jalan, juga pelabuhannya. Mengingat, pelabuhan masih jadi primadona dalam jalur distribusi logistik baik ekspor maupun impor.

"Bila infrastrukturnya jelek, maka biaya logistik kita akan tetap mahal," jelasnya. N Ita Nina Winarsih (Ita)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement