REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kelautan dan Perikanan mendorong ekspor udang meskipun harga turun hingga 30 persen dalam dua bulan terakhir semester I/2014. Ekspor perlu dilakukan untuk mengantisipasi kelebihan pasokan.
Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan KKP Saut P Hutagalung menyatakan ekspor penting dilakukan agar tidak menimbulkan dampak yang lebih luas, seperti penumpukan pasokan di "cold storage" dan mengganggu produksi dari petambak.
"Kalau ditahan terus tidak dilepas (ekspor) petambak yang jadi korban, karena tidak ada yang beli, ini berpengaruh terhadap industri udang nasional, supaya bisa jalan," katanya, Selasa (1/7).
Saut mengakui, harga udang memang tengah menurun ke Rp55.000 per kilogram dari Rp100.000 per kilogram dalam kondisi tak wajar. Namun, kondisi ini masih di atas biaya produksi dan di atas harga sebelumnya dalam kondisi normal Rp40.000 per kilogram.
"Sekarang harga mulai naik, 30 sen tidak besar tetapi sebanding antara yang naik dan yang turun, yang kedua kurs juga positif untuk ekspor, harus dipertimbangkan," katanya.
Dia mendesak para pengusaha untuk mengekspor sebelum bulan Oktober karena setelah bulan tersebut tidak ada lagi kesempatan untuk mengekspor tahun ini.
"Artinya, pasti akan memumpuk, jangan melihat harga turun enggak mau ekspor, sekarang harus dihitung betul karena sudah waktunya," katanya.
Saut menegaskan meskipun naiknya tidak signifikan, tetapi dia menyakinkan pengusaha bahwa ekspor tidak akan membuat merugi karena saat ini harga udang tengah mencari keseimbangannya.
"Harga tinggi, digabung dengan harga rendah, supaya tidak rugi 'packers' harus bisa melepas, sehingga bisa menerima tambak-tambak yang panen, sepanjang masih ada keuntungan sudah waktunya melepas," katanya.
Dia mengatakan saat ini Indonesia merupakan pengekspor terbesar udang selain India, Argentina dan Ekuador, oleh karena itu kebutuhan pasar dunia tidak bisa dipenuhi tanpa adanya ekspor Indonesia.