REPUBLIKA.CO.ID, SOLO -- Pemberlakuan ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) sejak tahun 2005 lalu dinilai mampu mendorong perekonomian bagi negara-negara anggota ASEAN mengingat pertumbuhan ekonomi Republik Rakyat Cina (RRc) mencapai 7,6 persen pada tahun 2013 lalu.
"Kita sangat diuntungkan, dan jika melihat statistik perdagangan dan investasi di negara-negara ASEAN dalam rentang waktu enam hingga tujuh tahun terakhir tersebut, terpengaruh oleh perkembangan ekonomi di Cina," kata Direktur Kerja Sama ASEAN Kementerian Perdagangan, Djatmiko Bris Witjaksono, di sela-sela Senior Economic Official Meeting (SEOM) kedua, di Solo, Rabu (23/4).
Djatmiko mengatakan, Cina merupakan negara mitra dagang terbesar bagi negara-negara anggota ASEAN yang mampu mendorong perekonomian di wilayah tersebut karena adanya pergerakan barang dan juga dalam investasi. "Cina ikut mendorong perekonomian ASEAN dengan adanya arus barang, selain itu juga adanya investasi, dimana investasi tersebut juga cukup signifikan datang ke Indonesia," ujar Djatmiko.
Menurut Djatmiko, meskipun Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan dengan Cina, kondisi tersebut baru terjadi dalam kurun waktu kurang lebih dua tahun terakhir, akan tetapi juga harus dilihat bagaimana perkembangan investasi negara tersebut yang masuk di dalam negeri.
"Saya meyakini berdasarkan angka, banyak investasi dari Cina yang masuk ke Indonesia, sementara kita juga harus melihat seberapa kuat kemampuan kita untuk mendukung datangnya investasi dari luar tersebut," kata Djatmiko.
Total perdagangan antara Indonesia dengan Cina pada 2013 lalu mencapai 52,4 miliar dolar AS dimana untuk migas sebesar 1,59 miliar dolar AS sementara sektor non-migas sebesar 50,8 miliar dolar AS. Ekspor Indonesia ke Cina pada tahun yang sama tercatat sebesar 22,6 miliar dolar AS, sementara impor mencapai 29,8 miliar dolar AS sehingga menyebabkan defisit neraca perdagangan sebesar 7,24 miliar dolar AS.