REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tren surplus transaksi perdagangan diproyeksikan masih akan terus berlanjut ditopang oleh depresiasi nilai tukar rupiah, khususnya terhadap dolar AS. Akan tetapi, sifat keberlanjutannya adalah jangka pendek, sekitar satu sampai dua tahun.
Dibutuhkan perbaikan daya saing atau competitiveness yang ditopang oleh infrastruktur, produktivitas dan sejumlah aspek lainnya. Demikian disampaikan Deputy Country Director for Indonesia at the Asian Development Bank Edimon Ginting saat ditemui di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Rabu (2/4).
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat transaksi perdagangan Februari 2014 mengalami surplus 785,3 juta dolar AS. Perinciannya, nilai ekspor sebesar 14,57 miliar dolar AS dan nilai impor tercatat 13,78 miliar dolar AS. Kondisi ini mengalami perbaikan dibanding transaksi perdagangan Januari 2014 yang mencatatkan defisit 430,6 juta dolar AS dengan perinciannya, nilai ekspor 14,484 miliar dolar AS dan nilai impor 14,915 miliar dolar AS. Dengan demikian secara kumulatif pada Januari-Februari 2014, transaksi perdagangan surplus 354,7 juta dolar AS.
Berdasarkan data dari tim ekonom Bank Mandiri, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, Rabu (2/4), berada pada level Rp 11.313 per dolar AS atau menguat 0,76 persen dibanding penutupan, Jumat (28/3). Sejak awal tahun, mata uang kebanggaan Tanah Air itu menguat 7,45 persen setelah sebelumnya sepanjang 2013 mengalami pelemahan sebesar 26,42 persen.
Menurut Edimon, depresiasi rupiah telah menolong peningkatan ekspor, khususnya ekspor manufaktur dan penurunan impor, terutama impor barang intermediate. "Jadi kombinasi dua itu (yang akan terus mendorong surplus). Ekspor yang membaik dan impor yang pertumbuhannya menurun," kata Edimon.
"Biasanya depresiasi itu dampaknya satu sampai dua tahun. Ini cuma jangka pendek bertahannya. Setelah itu, kita harus kembali ke perbaikan daya saing," tambah Edimon.