REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada dua tantangan ekonomi yang harus diwaspadai oleh Indonesia dalam waktu dekat. Pertama, jelang berakhirnya suku bunga murah negara maju. Kedua, dampak pelemahan ekonomi Asia utamanya Tiongkok, Jepang dan India.
Staf khusus presiden bidang ekonomi dan pembangunan, Firmanzah mengatakan pernyataan Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat, Janet Yallen telah menciptakan kepanikan di pasar global. Yallen mengatakan AS memangkas kembali stimulus sebesar 10 miliar dolar AS dan menjadi 55 miliar dolar AS tiap bulannya, serta rencana The Fed menaikkan suku bunga dari 0,25 persen menjadi 1 persen pada akhir 2015 dan 2,25 persen pada 2016.
“Kondisi ini telah memicu keluarnya dana asing dari pasar keuangan Asia kembali ke Amerika Serikat,”katanya, Selasa (25/3).
Ia mengatakan pengumuman itu telah membuat pasar keuangan panik. Padahal fundamental ekonomi dan situasi politik di Asia Tenggara semakin stabil dan kepercayaan investor global semakin tinggi.
Dengan pengumuman itu, sejumlah mata uang seperti baht Thailand, peso Filipina, yuan Tiongkok, ringgit Malaysia dan won Korea Selatan terdepresiasi cukup tajam terhadap dollar AS. Sedangkan rupiah pada penutupan perdagangan Kamis (20/3) terdepresiasi sebesar 1,16 persen menjadi Rp. 11.446,3 per dolar AS. Pada penutupan perdagangan Jumat (21/3/14) rupiah kembali ditutup menguat 0,18 persen menjadi Rp. 11.425 per dolar AS.
Firmanzah juga menyebutkan, efek kepanikan pasar juga tercermin pada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), yang pada penutupan Kamis sempat turun 122,48 poin atau 2,54 persen dan menyentuh 4.698,97. Sebelum kemudian ditutup menguat tipis 1,24 poin pada perdagangan Jumat (21/3), dan berada di level 4.700,21.
Staf Khusus Presiden bidang Ekonomi dan Pembangunan itu mengatakan, dalam jangka pendek, ekonomi Indonesia 2014-2016 akan disibukkan dengan perumusan kebijakan antisipasi pengurangan dan penghentian Quantitative Easing (QE) III, dan dinaikkannya suku bunga acuan The Fed.
“Pembalikan modal ke negara maju perlu kita antisipasi bersama karena berdampak kepada nilai tukar rupiah, IHSG, inflasi, cadangan devisa, neraca perdagangan dan neraca pembayaran,” tutur Firmanzah.
Selain harus fokus untuk mengantisipasi arus pembalikan modal itu, menurut Firmanzah, Indonesia juga harus memberikan perhatian yang serius terhadap pelemahan ekonomi negara-negara utama Asia seperti Tiongkok, Jepang dan India.
Ia menyebutkan, sepanjang 2013 hingga triwulan 1-2014, ekonomi Jepang, Tiongkok dan India terus melemah, serta mengalami perlambatan di luar perkiraan banyak kalangan. Antisipasi pembalikan arah pertumbuhan negara-negara besar Asia seperti Jepang, India dan Tiongkok, kata Firmanzah, membutuhkan perhatian khusus mengingat dampaknya berpeluang besar menekan ekonomi Asia Tenggara termasuk Indonesia.
Firmanzah menjelaskan, ekonomi Jepang yang merupakan negara dengan ekonomi terbesar ketiga di dunia semakin tertekan akibat melebarnya defisit transaksi berjalan periode Januari 2014 yang mencapai 1,59 triliun yen atau sekitar 15.4 miliar dolar AS.
“Pertumbuhan ekonomi Jepang di kuartal terakhir 2013 juga hanya mampu menyentuh angka 0,7 persen atau lebih rendah dari perkiraan sebelumnya yakni 1,0 persen,”katanya.
Hal serupa juga terjadi pada Tiongkok beberapa waktu lalu menurunkan proyeksi pertumbuhannya tahun 2014 ke level 7.5 persen atau lebih rendah dari target sebelumnya 7.7 persen. Sama halnya dengan ekonomi India yang sepanjang 2012-2013 mencatatkan pertumbuhan di bawah 5 persen atau terendah dalam 10 tahun terakhir. Pada kuartal terkahir 2013, pertumbuhan ekonomi India tercatat 4.7 persen atau melambat dari kuartal sebelumnya yang mencapai 4.8 persen.
Dengan kedua tantangan itu, kata Firmanzah, potensi terganggunya pertumbuhan di emerging countries akan semakin besar. Hal ini tercermin dari kepanikan beberapa bank sentral di negara berkembang seperti Afrika Selatan, Brasil, dan Turki yang menaikkan suku bunganya secara ekstrem setelah menghadapi lonjakan inflasi dan pelarian modal.
“Ini juga mulai dirasakan di negara-negara seperti Malaysia dan Thailand paska melemahnya ekonomi utama Asia seperti Tiongkok dan Jepang,” tambahnya.
Firmanzah menyebutkan, terkait kedua tekanan di atas yang mendorong restrukturisasi arus modal keluar dan upaya stabilisasi melalui sejumlah instrumen kebijakan, Bank Dunia memproyeksikan aliran modal masuk (capital inflow) ke negara-negara berkembang termasuk Indonesia pada 2014 hanya di angka 818.1 miliar dolar AS atau menurun 21.2 persen dibandingkan tahun lalu yang mencapai 1.038,5 miliar dolar AS.
“Arus modal cenderung tertarik ke negara-negara yang memiliki prospek pertumbuhan ekonomi tinggi,” terangnya.