REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Hadi Purnomo mengatakan penyimpangan keuangan negara sudah mengalami penurunan signifikan dibandingkan sebelumnya. Sebab, BPK telah menerapkan system elektronik audit (e-audit) yang bisa mengecek penggunaan dana termasuk penyimpangan yang terjadi.
“Sejak saat itu ada perkembangan. Tidak hanya dapat melihat aliran dokumen tetapi juga data aliran dana. BPK juga punya monitori kuat atas keuangan negara,” katanya, Rabu (22/1).
Ia mengatakan, e-audit saat ini mampu memonitor keuangan negara, baik di pusat dan daerah senilai Rp 4.200 triliun. E-audit juga mencakup transaksi keuangan yang dilakukan perusahaan-perusahaan plat merah.
"Transaksi APBN bisa diakses secara online lewat 177 KPPN (Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara) di seluruh Indonesia bawah Kementerian Keuangan. Transaksi APBD yang sebanyak 1.400, jumlahnya bisa diakses dari 26 BPD, dan Capex BUMN diakses dari empat bank BUMN," katanya.
Contoh sederhana yang dipaparkan Hadi antara lain audit yang bisa dilakukan pada hibah dan bantuan pusat apakah sesuai dan untuk apa penggunaannya. Selain itu, perjalanan dinas fiktif, mark up anggaran, pemalsuan tiket pun bisa terdeteksi.
Ketidaksesuaian uji penerimaan negara juga bisa dilakukan hingga menguji pajak kendaraan bermotor sudah masuk kas daerah atau tidak. “Dengan data itu, kita bisa lebih cepat menemukan indikasi penyimpangan dan memudahkan cek fisik di lapangan,” katanya.
Artinya, BPK bisa melacak dan menelusuri transaksi yang dilakukan para pengelola keuangan negara mulai dari jumlah transaksi, kelengkapan catatan, kebenaran jumlah transaksi. Hal tersebut pun bisa dilakukan tanpa adanya intervensi.
Dengan monitor kuat tersebut, Hadi menyakini akan terbentuk catatan BPK atas akses pada pengelola dan penanggung jawab keuangan negara. Hal ini dianggapnya merupakan tindakan preventif yang dilakukan untuk meminimalisasi penyimpangan. "Saat ini semakin menurun, inilah preventif," katanya.