REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Pengusaha Gula Terigu Indonesia (APEGTI) meminta pemerintah membenahi distribusi gula rafinasi. Apabila terbukti ada pelanggaran, Kementerian Perdagangan (Kemendag) harus berani memberikan sanksi tegas.
Ketua Apegti, Natsyir Mansyur mengatakan, peraturan perundangan mencantumkan pelarangan gula rafinasi untuk konsumsi rumah tangga dengan jelas berikut sanksinya. Hal itu tertera pada Undang-undang, Inpres, serta Keputusan Menperindag 527.
Namun Kementerian Perindustrian dan Kemendag hanya memberikan sanksi administrasi bagi pihak pelanggar. Selain itu, pengusaha kecil sebagai penyalur dikenakan sanksi yang lebih berat dibandingkan produsen.
"Jadi kalau Kemendag dan Kemenperin hanya memberikan sanksi administrasi itu perlu dipertanyakan, apalagi perembesan ini sudah 3 tahun berturut turut. Jika terus begini bukan insidentil namanya tapi penjualan terencana,” katanya pada siaran pers yang diterima Republika, Selasa (21/1).
Apegti meminta agar pemerintah mencabut izin distribusi gula bagi pelanggar peraturan. Hal ini untuk memberikan efek jera. Perilaku tersebut dikatakan telah merugikan industri Gula Kristal Putih (GKP). Harga gula rafinasi yang lebih murah membuat GKP kurang laku. Akibatnya petani tebu pun tidak bergairah untuk bertanam.
Ia kemudian berharap Dewan Gula Indonesia (DGI) bisa lebih aktif merespon perembesan ini. Pembiaran akan berdampak pada gagalnya swasembada gula. Minat pengusaha berinvestasi membangun pabrik gula baru pun akan surut.
Data APEGTI mencatat jumlah gula rafinasi yang merembes mencapai 850 ribu ton pada tahun 2013. Jumlah ini naik dibandingkan tahun 2012 sebesar 650 ribu ton. 2013) dan 650 ribu ton. Namun Kemendag menyatakan telah terjadi penurunan pada perembesan gula rafinasi.