Selasa 19 Nov 2013 16:24 WIB

Kebijakan Mobil Murah, Bukti Pemerintah Mengedepankan Kepentingan Korporasi?

Rep: Muhammad Iqbal/ Red: Nidia Zuraya
Mobil murah (ilustrasi)
Foto: r3870me
Mobil murah (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Marhany Pua menuding pemerintah terjebak pada praktek korporatisme dalam kebijakan mobil murah dan ramah lingkungan (low cost green car/LCGC). 

"Ada kesan bahwa negara beroperasi demi kepentingan kapital. Jangan-jangan dibalik kebijakan dengan mengatur dan mengontrol bisnis milik private.  Ini kan satu hal yang perlu kita hati-hati," ujar Marhany dalam Sidang Paripurna DPD ke VII di Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen Senayan, Selasa (19/11). 

Salah satu agenda sidang adalah mendengarkan penjelasan pemerintah tentang jawaban atas hak bertanya Anggota DPD RI mengenai kebijakan LCGC. Hak bertanya itu diinisiasi oleh Anggota DPD asal DKI Jakarta yaitu AM Fatwa. 

Marhany menjelaskan, dalam konteks teori kebijakan publik modern, korporatisme menjadi bentuk negara baru. Kebijakan diambil melalui korporasi publik dan mengabaikan pertimbangan-pertimbangan rasional dan parlemen. Pun dengan kolusi eksekutif dan parlemen. "Nah, itu bisa saja terjadi. Saya kira, kita perlu mengkritisi ini lebih lanjut. Karena kami berpendapat, kebijakan ini sepatutnya dievaluasi pemerintah," kata Marhany. 

Selain itu, Marhany juga menuding adanya pembelokkan isu terhadap kebijakan LCGC menjadi isu kebijakan angkutan pedesaan. Padahal ketika kebijakan LCGC diluncurkan, permasalahan angkutan pedesaan tidak pernah.  "Sehingga kita patut bertanya, apakah benar kebijakan ini bagus? ataukah ada kepentingan yang bermain di balik kebijakan ini?," tanya Marhany.

Anggota DPD lainnya I Wayan Sudirta mengatakan pertanyaan terkait siapa dibalik kebijakan LCGC, muncul diberbagai daerah.  "Apabila dikaitkan dengan praktek-praktek ketatanegaraan yang belum lama berlangsung, kita perlu khawatir," ujar Wayan. 

Tidak mustahil, menurut Wayan, dalam program LCGC akan semakin meningkatkan subsidi bahan bakar minyak (BBM). Ujung-ujungnya, beban pemerintah untuk membeli minyak dari luar negeri semakin meningkat.  "Itu akan berujung pada beban rakyat. Jadi kita perlu hitung, apa ini menguntungkan rakyat?," ungkapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement