REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi tahun depan sekitar 5,8-6,2 persen. Perlambatan ekonomi domestik diharapkan dapat mengendalikan impor sehingga mendukung perbaikan neraca transaksi berjalan.
Anggota Komite Ekonomi Nasional (KEN) Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan, BI seharusnya menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.
"Kebijakan BI salah dan bisa membunuh pertumbuhan," ujar Purbaya, Jumat (15/11). Ia menilai kebijakan BI seakan bertabrakan dengan kebijakan pemerintah yang menginginkan pertumbuhan.
Sejak Juni 2013, BI telah menaikan BI Rate sebesar 175 basis poin (bps) atau 1,75 persen menjadi 7,5 persen. Kebijakan tersebut dilakukan untuk mengatasi defisit transaksi berjalan yang masih mencapai 3,8 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). BI menargetkan defisit transaksi berjalan dapat ditekan hingga 2,6 persen dari PDB pada 2014.
"Kalau BI menyimak transaksi berjalan secara hati-hati, BI tidak akan sepanik ini. Kebijakan BI bukannya menstabilkan, tapi malah destabilize," ujar dia. Kekhawatiran BI terhadap defisit transaksi berjalan membuat BI melemahkan rupiah.
Purbaya mengatakan pelemahan belum cukup mengurangi perlambatan sehingga suku bunga dinaikan. Namun, kenaikan suku bunga tersebut berdampak negatif para rupiah.
Rupiah terus melemah. "Investor asing ketakutan berinvestasi di negara yang nilai tukarnya lemah," ujar dia. Padahal, menurutnya, defisit transaksi berjalan adalah konsekuensi logis dari keberhasilan pemerintah mengundang investor asing.