Rabu 16 Oct 2013 13:11 WIB

Kontrol FDR Diperlukan untuk Perkuat Dana Bank Syariah

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Nidia Zuraya
Perbankan Syariah.  (ilustrasi)
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Perbankan Syariah. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kontrol atas Financing to Deposit Rasio (FDR) dinilai sangat diperlukan. Di dalam kondisi pasar dengan likuiditas ketat seperti saat ini, aturan pengereman FDR mampu memperkuat sisi pendanaan.

Direktur PT Bank BNI Syariah, Imam T Saptono mengatakan aturan FDR di kisaran 78 hingga 92 persen memaksa bank untuk mengurangi ekspansi dan memperkuat sisi pendanaan. Hal ini dibutuhkan untuk antisipasi bila terjadi shock di pasar. “Jika salah satu bank gagal bayar karena masalah likuiditas, maka akan menimbulkan domino effect,” ujarnya kepada ROL, Rabu (16/10).

Imam menyebut bank syariah dapat memperlambat laju ekspansi pembiayaan jika ingin mengerem angka FDR. “Di sisi lain bank bisa berupaya meningkatkan dana institusi,” ucapnya.

Saat ini FDR BNI Syariah berada di kisaran 94 hingga 95 persen. BNI Syariah menargetkan penurunan FDR menjadi 92 persen di akhir 2013. Hingga September, pembiayaan BNI Syariah mencapai Rp 10,5 triliun dan Dana Pihak Ketiga (DPK) sebesar Rp 11,6 triliun. “Pembiayaan masih fokus di griya, mikro, serta Usaha Kecil dan Menengah (UKM),” kata Imam.

Sekretaris Perusahaan Bank BRI Syariah, Lukita T Prakasa mengakui saat ini kondisi FDR di industri perbankan syariah masih di atas 100 persen. “Namun bukan berarti bank syariah kesulitan likuiditas. Sebagai contoh BRI Syariah di Juni kemarin mendapat tambahan modal Rp 500 miliar,” kata dia.

Tambahan modal disetorkan tidak dihitung di FDR. Hanya saja, kata Lukita, memang perlu menjadi perhatian khusus untuk bank syariah agar lebih serius mengejar DPK demi menyimbangkan dengan dana pembiayaan.

Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), hingga akhir Juli 2013, total aset perbankan syariah yang terdiri dari bank umum dan unit usaha syariah mencapai Rp 219,2 triliun. Sementara itu aset Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Rp 5,5 triliun. Sisi pembiayaan pun masih tinggi, yakni Rp 178,9 triliun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement