REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyayangkan kelambanan pemerintah merespons perpanjangan kontrak pertambangan. DPR berencana membuat aturan tenggat waktu agar semua pihak berkepastian. Pasalnya, pemerintah terhitung lama dalam memutuskan perpanjangan kontrak kerja sama (KKKS).
Anggota Komisi VII DPR, Satya Yudha, mengungkapkan bila ada tenggat waktu yang pasti, niscaya pengambilan keputusan suatu kontrak tidak perlu berlama-lama. ''Sekarang ini cukup memakan waktu lama tanpa adanya kejelasan. Perlunya tenggat waktu saat ini masih dibahas,'' kata dia pada seminar Kepastian Hukum di Sektor Migas, Rabu (2/10) siang.
Menurut Satya, lamanya pengambilan keputusan itu membuat tidak adanya kepastian KKKS. Dalam aturan yang berlaku, kata dia, belum batas waktu respon pemerintah. ''Nanti diatur, enam bulan sampai setahun dari pengajuan usulan,'' ujar dia.
Pengamat Energi, Darmawan Prasodjo, berpendapat tidak masalah tenggat waktu perpanjangan waktu enam bulan atau setahun. Yang menjadi masalah utama adalah tujuan perpanjangan kontrak. ''Pasal 33, menggariskan sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat,'' jelas dia.
Darmawan melanjutkan, kecepatan pengambilan keputusan perpanjangan kontrak substansinya sejauh mana mengakomodasi kemakmuran rakyat. Semangat perpanjangan kontrak harus ke arah sana. Sekarang yang menjadi masalah, kata dia, bagaimana mengimplementasikan pasal 33 itu menjadi suatu prosedur.
Aturan itu, ujar Darmawan, hanya masalah tenggat waktu. Strategi dalam memutuskan perpanjangan kontrak lebih penting di sini. Strateginya, lanjut dia, untuk menjaga kepentingan nasional Indonesia. Perpanjangan kontrak harus ditujukan untuk mengembangkan industri migas nasional. Sedangkan, kata dia, selama ini hanya bersifat jangka pendek, yakni lifting migas.