REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aturan penyesuaikan giro wajib minimum (GWM) Sekunder dari 2,5 persen menjadi 4 persen akan berlaku besok (Selasa, 1/10). Pengamat menilai bank-bank kecil akan terkena dampak yang signifikan dari aturan tersebut.
Ekonom PT Bank Internasional Indonesia, Tbk (BII), Juniman, mengatakan bank-bank kecil terpaksa harus melambatkan kreditnya dan mencari likuiditas untuk GWM sekunder. "Apakah dengan pinjaman, right issue, penerbitan obligasi, penambahan modal atau menaikan suku bunga untuk menambah dana pihak ketiga (DPK)," ujar Juniman, Senin (30/9).
Juniman mengatakan tak heran jika bank kecil menaikkan suku bunga lebih besar dari bank besar, bahkan hingga double digit. Selain untuk memupuk likuiditas, hal tersebut juga dilakukan untuk mencegah perusahaan terkena denda jika loan to deposit ratio (LDR) lebih dari 92 persen. Terlebih lagi jika level rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) berada di bawah 14 persen.
Sementara itu, bank-bank besar telah berinisiatif untuk menaikkan GWM sekunder di BI sebelum aturan dikeluarkan. "Dari pengalaman 1997-1998 dan 2008 tentang masalah likuiditas, sejak 2009 bank mengeset GWM sekunder di atas ketentuan BI, terutama bank besar," ujar dia.
Aturan GWM sekunder ini ditampung dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang mengubah PBI lama, yaitu PBI Nomor 12/19/PBI/2010 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing. Secara umum, pokok-pokok kebijakan GWM dalam rupiah tersebut mencakup kewajiban GWM Sekunder disesuaikan secara bertahap.
Pada periode 1 Oktober 2013 hingga 31 Oktober 2013, GWM Sekunder ditetapkan 3 persen dari DPK rupiah. Kemudian pada 1 November 2013 hingga 1 Desember 2013 sebesar 3,5 persen. BI baru mewajibkan GWM Sekunder sebesar 4 persen mulai 2 Desember 2013. Aset likuid atau surat berharga yang dapat diperhitungkan untuk memenuhi GWM Sekunder yaitu Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI), Surat Berharga Negara (SBN), dan Excess Reserve.