Jumat 27 Sep 2013 16:00 WIB

Kesenjangan Antaranggota APEC Masih Terjadi di Sektor Perdagangan

Rep: Meiliani Fauziah/ Red: Nidia Zuraya
Ekspor-impor (ilustrasi)
Ekspor-impor (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia perlu merumuskan strategi guna menyambut tantangan yang datang dari negara-negara anggota Asia-Pasific Economic Coorperation (APEC). Dalam bidang perdagangan misalnya, setidaknya ada tiga hal yang perlu menjadi fokus perhatian.

Pertama, yaitu mengenai kesenjangan yang masih terasa di antara sesama anggota. Wakil Menteri Perdagangan, Bayu Khrisnamurti mengatakan seluruh negara APEC tumbuh dengan pesat, baik negara kecil maupun negara besar. Alhasil, walaupun negara kecil tumbuh dan mendapat manfaat dari APEC, tapi kesenjangan antarnegara masih jadi isu.

Lalu, perbaikan fasilitas yang diupayakan oleh para anggota APEC seiring dengan kenaikan biaya ekspor. Tahun 2008, biaya ekspor sebesar 878 dolar AS per kontainer. Sedangkan tahun ini, biaya ekspor mencapai 910 dolar AS per kontainer. "Daya dukung infrastruktur mendapat tekanan dan terefleksikan oleh kenaikan biaya ekspor," ujarnya di kantor Kemendag (27/9).

Selanjutnya, kerja sama antara negara APEC dalam sektor jasa belum menunjukkan perbedaan yang signifikan dibandingkan negara nonanggota. Hal ini antar lain terjadi dalam sektor finansial dan ritel.

Tahun lalu, ekspor Indonesia ke negara-negara anggota APEC mencapai 139,9 miliar dolar AS atau kurang lebih 69,8 persen dari total ekspor Indonesia. Dari jumlah tersebut, ekpor non migas mencapai 103 miliar dolar AS.

Porsi terbesar ekspor ke negara APEC selama ini menurut Bayu berkaitan dengan energi, yaitu gas alam sebesar 15 miliar dolar AS, minyak mentah (crude oil) sebesar 11,5 dollar AS dan batu bara sebesar 7 miliar dolar AS. Sedangkan untuk porsi nonmigas didominasi oleh karet sebesar 5,5 miliar dolar AS dan CPO sekitar 5,5 miliar dolar AS. "Kalau dibandingkan tahun lalu, ekspor Indonesia ke APEC masih defisit sekitar 7 miliar dolar AS," katanya.

Indonesia, menurut dia, harus berupaya agar setidaknya ekspor negara kita tidak turun. Selama ini transaksi perdagangan antara Indonesi dan APEC masih didominasi kegiatan ekonomi skala besar, termasuk sawit dan karet.

Bayu pun tidak menampik peluang terjadi liberalisasi antaranggota APEC. Menurut dia adalah wajar bila masing-masing negara melakukan proteksi. Namun, fokus Indonesia saat ini yaitu mencari pasar yang seluas-luasnya. "Kalau di APEC, pasarnya sudah jadi. Kalau kita memasukkan produk ke negara baru akan lebih lama, butuh proses yang lebih panjang," katanya.

Direktur Kerjasama APEC dan Organisasi Internasional Lainnya Kemendag, Deny Kurnia mengatakan kerja sama Indonesia dalam pembukaan pasar di bidang pertanian masih tertinggal dibandingkan bidang lain. Padahal produk pertanian menyumbang 65 persen dari ekspor kita. Dua komoditas yang bisa diandalkan misalnya sawit dan karet."Jadi kita perlu berupaya mengembangkan pembukaan pasar untuk produk pertanian tertentu, dimana kita unggul," katanya.

Pemerintah menurut dia juga tetap memproteksi derasnya produk pertanian impor. Caranya, dengan menjaga agar keleluasaan kebijakan di sektor pangan tetap berada di tangan negara Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement