REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Cadangan minyak bumi di Indonesia semakin menipis. Akibatnya, produksi bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia terus menurun. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), menilai Indonesia harus segera memikirkan konsep industri bahan bakar nabati (BBN) terpadu, sehingga bisa menjamin pemenuhan kebutuhan energi di masa depan.
''Kita sudah tidak bisa bergantung kepada minyak sementara jumlah konsumsi meningkat terus seiring pertumbuhan penduduk dan kebutuhan lainnya. Jadi, harus ada alternatif untuk mengurangi pasokan BBM,'' ujar Deputi Kepala BPPT Bidang Teknologi Informasi, Energi dan Material, Unggul Priyanto, kepada wartawan, Senin (16/9).
Menurut Unggul, BPPT sudah cukup lama melakukan kajian tentang masalah keamanan pasokan bahan bakar. Ada beberapa alternatif, yang bisa dilakukan untuk mengurangi pasokan BBM. Yaitu, mengunakan BBN untuk subtitusi solar dan premium, penggunaan CNG untuk subtitusi premium, dan penggunaan transportasi massal dengan kereta api listrik.
Indonesia, kata dia, saat ini adalah penghasil CPO (crude palm oil) terbesar di dunia. Karena, kondisi dan iklim di Indonesia cocok dengan kondisi yang dibutuhkan untuk tumbuhnya sawit. Total produksi CPO Indonesia, mencapai 23 juta ton per tahunnya atau setara dengan 25 juta kiloliter. Oleh karena itu, sebenarnya Indonesia berpotensi menjadikan CPO atau Biofuel sebagai sumber bahan baku Biodiesel dan Bioethanol.
Namun, kata dia, produsen CPO lebih suka mengekspor keluar negeri ketimbang menggunakannya untuk konsumsi dalam negeri. Padahal, sudah ada insentif dari pemerintah sebesar Rp 3.000 per liter. "Di pasar internasional harga CPO atau Biofuel mencapai Rp 7.500 per liter," katanya.
Menurut Unggul, total lahan tanaman sawit yang ada mencapai 8.430 juta hektare. Sementara lahan yang sudah menghasilkan baru digunakan seluas 6.270 juta hektare. Berarti masih ada lahan seluas 2.160 juta hektare yang belum digunakan. Selain itu, pemerintah bisa menggunakan lahan lahan milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) yang ditanami sawit dan juga perkebunan rakyat. Namun tetap dengan peruntukan yang jelas.
Penggunaan lahan hutan, kata dia, tinggal mengikuti regulasi dari Kementerian Kehutanan (Kemenhut) sesuai aturan peruntukannya yaitu hutan konservasi, hutan produksi, hutan lindung dan lain-lain. ''Jadi, lahan untuk pangan dan sawit tidak tidak akan menggangu penanaman jenis tumbuhan lain yang sudah ada," katanya.
Untuk menjadikan BBN sebagai pengganti BBM, kata dia, diperlukan kebijakan. Misalnya, dari sisi pajak fiskal karena saat ini, impor CPO cukup besar. Namun, alih bahan bakar ini tak akan sesulit konversi minyak tanah ke LPG yang langsung harus berhubungan dengan rumah tangga. ''Tinggal kemauan sebenarnya. Yang penting ada kebijakan fiskal tadi. Brazil saja, bisa menekan industrinya untuk pakai biodiesel, kita bisa tidak?'' katanya.
Saat ini, ungkap Unggul, total produksi CPO di Indonesia mencapai 23 juta ton atau setara 25 juta kiloliter. Kalau diambil untuk kepentingan pangan maksimum 8 juta kiloliter, masih ada sekitar 17 juta kiloliter lagi. ''Total konsumsi solar kan mencapai 31 juta kiloliter. Kalau kita bisa mengganti dengan biodiesel separuh saja itu sudah bagus,'' katanya.
Dikatakan Unggul, pabrik Biofuel untuk Biodiesel idealnya terintegrasi dengan kebun dan lahannya sendiri karena biaya produksinya hanya sekitar 4.000 per liter. Agar, kalau biaya produksi mengalami kenaikan tidak akan mengalami masalah berarti karena ketersediaan bahan baku terjamin, biaya produksi yang lebih rendah dan adanya distribusi BBN yang lebih baik.