REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Lembaga Pengkajian Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Kamar Dagang dan Industri (LP3E Kadin) Didik J Rachbini mengatakan, krisis ekonomi bermula dari ketidakpercayaan baik para pelaku usaha maupun penanam modal kepada kebijakan-kebijakan yang ada.
"Ekonomi Indonesia ini seperti gadis cantik yang diperbutkan, namun jika kebijakan fiskal, termasuk postur dan struktur anggaran tidak mendukung, akan muncul ketidakpercayaan yang akan menghambat itu semua," katanya saat diskusi yang bertajuk Penyebab Krisis Nilai Tukar dan Dampaknya terhadap Ekonomi Nasional di Jakarta, Jumat (6/9).
Menurut Didik, kebijakan fiskal saat ini belum cukup merespon kondisi ekonomi yang menunjukkan penurunan akhir-akhir ini yang dinilai bersumber dari subsidi bahan bakar minyak (BBM). Dia menyebutkan, defisit keseimbangan primer naik dari Rp 40,1 triliun menjadi Rp 111,7 triliun dan target penerimaan negara juga turun dari Rp 1.529,7 triliun menjadi Rp 1.502,0 triliun. "Ini menunjukkan ruang fiskal yang sempit karena besarnya impor yang mengurangi cadangan devisa," katanya.
Dia juga menyebutkan bahwa tax ratio turun dari 12,87 persen menjadi 12,21 persen, defisit anggaran terhadap produk domestik bruto (PDB) naik dari -1,65 persen menjadi -23,8 persen. Porsi subsidi energi, lanjut Didik, naik dari 23,8 persen menjadi 25,1 persen, sementara itu belanja modal justru turun dari 16 persen menjadi 15,7 persen dan realisasi penyerapan anggaran hingga akhir Mei 2013 baru mencapai 31,4 persen dan realisasi belanja modal 13,8 persen.
Dia juga menyebutkan defisit neraca perdagangan dari Januari hingga Mei 2013 mencapai 2,5 miliar dolar AS. "Defisit ini pertanda adanya tekanan impor karena kebijakan perdagangan belum tepat," katanya.
Dari sisi ekspor, Didik menyebutkan batu bara masih menjadi komoditi utama, yakni 17,2 persen diikuti minyak nabati 13,3 persen, tekstil dan produk tekstil 8,2 persen, alat listrik, ukur, fotografi dan lain-lain 7,3 persen. "Kalau pangsa ekspor itu turun, defisitnya akan lebih besar mengingat neraca perdagangan nonmigas rentan terhadap perubahan harga karena ekspor Indonesia mengandalkan komoditas primer," paparnya.
Ditambah dengan defisit ekspor nonmigas ke negara-negara, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Jerman dan Prancis. Dia mengimbau agar kebijakan ekonomi, terutama kebijakan fiskal tidak diputuskan secara politik menjelang Pemilu 2014. "Agar tidak mengorbankan rakyat banyak," tambahnya.