REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia pada Juli 2013 mengalami defisit senilai 2,31 miliar dolar AS. Defisit ini disumbang oleh defisit komoditi minyak dan gas (migas) sebesar 1,86 miliar dolar AS dan komoditi nonmigas sebesar 0,45 miliar dolar AS.
Menteri Keuangan (menkeu) Chatib Basri menjelaskan paket kebijakan pemerintah yang dikeluarkan dua pekan lalu tentu belum terlihat dampaknya bagi penurunan defisit neraca transaksi berjalan. Sebagai gambaran, neraca perdagangan merupakan bagian dari neraca transaksi berjalan di samping neraca jasa.
"Tentu anda akan baru lihat dampaknya di dalam satu, dua bulan setelah dikeluarkan. Jadi, menurut saya dan perkiraan saya, baru akan kelihatan secara keseluruhan pada penurunan defisit transaksi berjalan triwulan III. Saya cukup optimistis defisitnya akan lebih kecil dari 4,4 persen dari PDB," ujar Chatib di Kompleks Parlemen Senayan, Senin (2/9).
Defisit transaksi berjalan pada triwulan II 2013 meningkat menjadi 9,8 miliar dolar AS atau 4,4 persen dari produk domestik bruto (PDB). Padahal, defisit transaksi berjalan pada triwulan I 2013 hanya 2,6 persen dari PDB. Defisit transaksi berjalan yang besar dapat memberikan citra buruk manajemen ekonomi nasional.
Imbas berikutnya adalah kekhawatiran para pelaku ekonomi dari luar negeri, terutama investor asing terkait prospek masa depan perekonomian. Di sisi lain, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang dieksekusi pemerintah 22 Juni lalu belum berhasil menurunkan impor
BPS mencatat impor minyak mentah Juli 2013 sebesar 1,17 miliar dolar AS. Sementara untuk impor hasil minyak tercatat 2,73 miliar dolar AS.
Menurut Chatib, waktu satu bulan setelah eksekusi tentu belum dapat terlihat secara langsung bagi penurunan impor minyak dan hasil minyak. "Perkiraan saya bulan Agustus akan mulai terlihat," kata Chatib.