REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Defisit transaksi berjalan yang membengkak dan rumor penghentian stimulus moneter quantitative easing bank sentral Amerika Serikat (AS), the Federal Reserves, membuat rupiah terdepresiasi semakin dalam. BI mencatat kurs rupiah menyentuh Rp 10.504 per dolar AS pada Selasa (20/8) lalu, melemah 53 poin dari hari sebelumnya.
Deputi Gubernur BI Bidang Pengawasan Moneter dan Rupiah, Perry Warjiyo, mengatakan pelemahan rupiah adalah respons dari kondisi transaksi berjalan Indonesia. Defisit transaksi berjalan pada triwulan II-2013 meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya menjadi sebesar 9,8 miliar dolar AS atau 4,4 persen dari produk domestik bruto (PDB).
"Defisit transaksi berjalan membesar karena kondisi eksternalnya, ekspor kita belum bisa naik. Impor di pasar domestik juga tinggi," ujar Perry. Impor didominasi barang konsumsi sehingga transaksi berjalan semakin buruk.
BI meyakinkan pasar bahwa pelemahan rupiah masih mengikuti perkembangan regional. Nilai tukar mata uang di kawasan juga melemah. Ia mengatakan BI akan tetap memonitor pasar untuk stabilisasi rupiah agar sesuai dengan fundamental.
Tidak berhenti pada level Rp 10.500, rupiah terus melemah. Pelemahan bahkan lebih dalam. Rupiah terkapar di level Rp 10.723 pada Rabu (21/8) lalu, melemah Rp 219.
Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan tekanan dalam nilai tukar masih disebabkan oleh kondisi eksternal berupa wacana pengurangan stimulus moneter the Feds yang akan dilakukan pada September. Ia mengatakan Indonesia harus mempersiapkan diri menghadapi hal tersebut. "Tantangan ke depan masih besar," ujarnya.
Sebagai respons atas pelemahan rupiah, pemerintah dan BI mengeluarkan paket kebijakan. Paket kebijakan tersebut adalah, pertama, memperbaiki defisit transaksi berjalan dan nilai tukar rupiah terhadap dolar dengan mendorong ekspor dan keringanan pajak kepada industri tertentu. Kedua, pemerintah menjaga pertumbuhan ekonomi.
Paket ketiga adalah menjaga daya beli. Pemerintah berkoordinasi dengan BI untuk menjaga gejolak harga dan inflasi dengan mengubah tata niaga daging sapi dan hortikultura, dari impor berdasarkan kuota menjadi mekanisme impor dengan mengandalkan harga. Serta paket keempat adalah mempercepat investasi.
BI tak mau kalah. Sejumlah kebijakan lanjutan dikeluarkan untuk melengkapi paket kebijakan pemerintah. Kebijakan lanjutan ini diarahkan untuk meningkatkan pasokan valas secara lebih efektif dan dalam rangka pendalaman pasar uang. BI berharap kebijakan lanjutan dapat bersinergi dengan paket kebijakan pemerintah untuk menangani ketidakpastian jangka pendek.
Kebijakan yang pertama adalah memperluas jangka waktu Term Deposit Valas yang saat ini 7, 14, dan 30 hari menjadi 1 hari sampai 12 bulan. Kebijakan ini bertujuan meningkatkan keragaman tenor penempatan devisa oleh bank umum di Bank Indonesia. Kedua, BI merelaksasi ketentuan pembelian valas bagi eksportir yang telah melakukan penjualan Devisa Hasil Ekspor (DHE). Kebijakan ini bertujuan memberikan kemudahan bagi eksportir melakukan pembelian valas dengan menggunakan underlying dokumen penjualan valas.
Ketiga, BI menyesuaikan ketentuan transaksi forex swap bank dengan Bank Indonesia yang diperlakukan sebagai pass-on transaksi bank dengan pihak terkait. Kebijakan ini bertujuan meningkatkan kedalaman transaksi derivatif.
Keempat, BI merelaksasi ketentuan utang luar negeri (ULN), dengan menambah jenis pengecualian ULN jangka pendek bank, berupa giro rupiah (VOSTRO) milik bukan penduduk yang menampung dana hasil divestasi yang berasal dari hasil penyertaan langsung, pembelian saham dan/atau obligasi korporasi Indonesia serta Surat Berharga Negara (SBN). Kebijakan ini bertujuan mengelola permintaan valas oleh nonresiden tanpa mengurangi aspek kehati-hatian bank dalam melakukan pinjaman luar negeri.
Kebijakan lanjutan terakhir, BI menerbitkan Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI). Kebijakan ini bertujuan memberikan ruang yang lebih luas bagi perbankan untuk mengelola likuiditas rupiah melalui instrumen yang dapat diperdagangkan, yang pada gilirannya dapat mendorong pendalaman pasar uang.
Pasar tampak merespons positif paket kebijakan tersebut. Rupiah menguat 7 poin menjadi Rp 10.841 pada Senin (26/8). Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Difi A Johansyah, mengatakan bank sentral terus menjaga kestabilan rupiah. Ia mengatakan penguatan rupiah adalah respons dari pelaku pasar yang memandang positif ekonomi Indonesia setelah paket kebijakan diluncurkan.
Sayangnya, penguatan tak berlangsung lama. Rupiah kembali terdepresiasi 42 poin ke level Rp 10.883 pada Selasa (27/8). Ekonom mengatakan pelemahan rupiah disebabkan pasar tidak sabar menanti keluarnya kebijakan teknis pasca keluarnya empat paket kebijakan ekonomi pemerintah. "Karena pasar nervous, akibatnya mereka melepas rupiah dan menkonversinya dengan dolar AS," ujar Ekonom PT Bank Negara Indonesia, Tbk (BNI), Ryan Kiryanto.
Menurutnya, untuk mencegah pelemahan rupiah, sebaiknya pemerintah segera mengeluarkan kebijakan teknis. "Kebijakan teknis seperti Inpres sebagai juklak bagi 4 paket kebijakan ekonomi yang lalu," ujar dia.
Dengan adanya juklak dan aturan teknis, aparat birokrasi dapat langsung mengeksekusi paket kebijakan sehingga dampaknya akan segera terlihat. Hal tersebut akan mendongkrak kepercayaan pasar sehingga menciptakan sentimen positif untuk rupiah.