REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) batik, terancam terkena pengaruh melemahnya rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) karena sebagian besar perajin menggunakan pewarna impor untuk memenuhi kebutuhan produksi.
"Melemahnya nilai tukar rupiah memang bisa mendatangkan keuntungan untuk perajin karena harga barang ekspor menjadi lebih murah bagi pasar luar negeri. Namun di satu sisi, masih banyak perajin yang menggunakan bahan baku pendukung industri dari barang impor seperti pewarna kimia. Ini yang perlu disikapi oleh perajin," kata Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kota Yogyakarta Tri Kirana Muslidatun di Yogyakarta, Selasa (27/8).
Saat ini, lanjut dia, perajin batik belum terlalu merasakan dampak melemahnya rupiah terhadap harga bahan pewarna kimia batik karena perajin masih memiliki stok bahan baku. "Namun saat bahan bakunya sudah habis dan harus membeli sedangkan nilai tukar rupiah masih melemah, maka dampaknya pasti sangat terasa," katanya.
Tri menyadari, perajin batik yang telah melakukan ekspor lebih memilih menggunakan pewarna kimia dibanding pewarna alam karena disesuaikan dengan selera pasar. "Pasar luar negeri lebih menyukai batik dengan harga terjangkau seperti batik cap. Sedangkan batik tulis yang menggunakan pewarna alam biasanya tidak begitu disukai," ujarnya.
Jika nilai tukar rupiah melemah, maka perajin diperkirakan akan menaikkan harga jual. "Kenaikan harga tidak bisa terlalu tinggi karena dikhawatirkan pembeli akan beralih ke negara lain seperti yang terjadi saat rupiah menembus Rp 15 ribu per dolar AS. Saat itu, 30 persen pembeli beralih ke Malaysia," katanya.
Tri menambahkan, Dekranasda Kota Yogyakarta akan meminta perajin atau UMKM lebih banyak menggunakan bahan baku lokal dalam produksi sehingga tidak banyak terpengaruh perubahan nilai tukar mata uang. Selain itu, ia berharap agar perajin bisa berhubungan langsung dengan pembeli di luar negeri serta melakukan kontrak kerja dalam mata uang dolar AS.
"Masih banyak perajin yang tidak melakukan ekspor secara langsung tetapi melalui perantara dan kontrak kerja dilakukan dalam mata uang rupiah. Ini yang terkadang membuat perajin bisa mengalami kerugian," paparnya. Pemerintah, lanjut Tri, juga perlu segera mengambil sikap agar rupiah bisa kembali stabil.
Sementara itu, salah seorang perajin batik Indro Suwarno mengatakan masih menggunakan bahan baku impor khususnya untuk pewarna dan kain katun. "Saat ini belum ada pengaruhnya karena masih ada stok dari pembelian lama. Jika bahan baku mahal, maka kami pun akan menaikkan harga jual," kata Indro.
Selain memproduksi kain batik dengan motif kontemporer, Sisi Lain juga memproduksi kaos batik dengan motif kontemporer. Produksi kaos bisa mencapai 300 buah per bulan dan kain sekitar 100 lembar per bulan.
Sedangkan Kepala Seksi Bimbingan Teknik Produksi Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Pertanian Kota Yogyakarta Wisnu Sundaru mengatakan, sekitar 60 persen perajin batik di Yogyakarta menggunakan pewarna kimia. "Pewarna kimia harus diimpor sehingga harganya sangat tergantung fluktuasi rupiah. Jika harga pewarna naik, maka dimungkinkan ada kenaikan 10 persen untuk hasil produksinya," katanya.
Berdasarkan data dari Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Pertanian Kota Yogyakarta pada 212, jumlah perajin batik yang telah memperoleh izin tercatat sebnayak 266 unit usaha dengan 1.774 pekerja.