REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah diminta mengambil langkah kebijakan untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia. Restrukturisasi utang harus dilakukan sesegera mungkin.
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM Tony Prasetiantono mengatakan, restrukturisasi utang dilakukan untuk mencegah defisit semakin membengkak karena adanya utang yang jatuh tempo. "Cadangan devisa sudah turun, ditambah utang yang lebih besar," kata Tony dalam diskusi Prospek Investasi 2014 OCBC NISP di Jakarta, Kamis (22/8).
Restrukturisasi utang bisa dilakukan dengan kreditur. Menurut Tony ini pernah dilakukan ketika Indonesia mengalami krisis moneter pada 1998.
Selain restrukturisasi utang, pemerintah juga bisa melakukan Chiang Mai Initiative (CMI). Ini dilakukan untuk meningkatkan cadangan devisa yang semakin berkurang. Tercatat saat ini cadangan devisa negara yang tersisa adalah 92,7 miliar dolar AS. Indonesia bisa meminjam cadangan devisa dari negara-negara Asean, Cina, Korea dan Jepang. Yang paling memungkinkan adalah pinjaman jangka pendek dari Cina. "Cina adalah yang paling potensial karena punya 3,3 triliun dolar AS.
Upaya lain yang harus dilakukan adalah langkah Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan atau BI Rate. Tony memperkirakan BI Rate akan naik 50 basis poin menjadi 7,0 persen. Dengan demikian inflasi akan mencapai 8,6 persen. "Kita tekor, tapi lumayan mengurangi tekanan," kata Tony.
Hal senada juga dikatakan Ekonom Standard Chartered Fauzi Ichsan. Suku bunga acuan dinilainya harus naik untuk mencegah kondisi lebih parah. Ia menilai kenaikan suku bunga bisa berkisar 25-50 basis poin.
Naiknya suku bunga diharapkan dapat membuat investor menukar dolar ke rupiah. Minimal kenaikan suku bunga dapat mengurangi tensi sehingga orang berpikir untuk menyimpan uang di bank. "Kita harus membuat rupiah menjadi menarik," kata Fauzi saat ditemui di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI).
Terkait CMI, Fauzi mengatakan hal tersebut bisa saja dilakukan. Namun masalahnya apakah pemerintah akan melakukan itu atau tidak.