REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten, Dahnil Anzar Simanjuntak menilai asumsi makro APBN 2014 yang mematok pertumbuhan ekonomi sebesar 6,4 persen hingga 6,9 persen terlalu optimis dan tidak rasional.
"Satu-satunya argumentasi yang digunakan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan tersebut adalah kebijakan insentif fiskal yang akan diberikan kepada industri-industri yang fokus pada peningkatan SDM dan ruang fiskal yang meningkat untuk belanja infrastruktur pada tahun 2014 nanti," ujar Dahnil kepada ROL, Senin (19/8).
Padahal, kata dia, apabila merujuk fakta bahwa 2014 adalah tahun politik. Menurutnya, pada tahun politik akan sulit mencapai pertumbuhan bahkan di atas 5,5 persen, sama halnya seperti pertumbuhan tahun 2013 lalu, yang terpaksa juga dikoreksi oleh pemerintah sendiri.
Setidaknya, kata Dahnil, ada dua hal yang menyebabkan sulitnya pencapaian pertumbuhan ekonomi 2014 pada angka 6,4 persen hingga 6,9 persen.
Pertama, tahun politik menyebabkan peluang alokasi anggaran digunakan untuk kepentingan politik bukan cuma oleh partai penguasa tetapi juga oleh partai lain yang memiliki anggota DPR RI.
"Semuanya memiliki kecenderungan menjadikan APBN menjadi bancakan, sehingga stimulus APBN bagi pertumbuhan ekonomi seringkali tidak efektif," cetus Dahnil.
Kedua, lanjut dia, investor memiliki kecenderungan untuk wait and see pada tahun 2014, karena tidak mau berhadapan dengan potensi ketidakpastian yang tinggi pada tahun politik ini jelang dan dilaksanakannya Pemilu legislatif dan presiden.
Menurut dia, selain itu juga dipengaruhi faktor perlambatan pertumbuhan ekonomi Cina dan India dan beberapa negara Asia lainnya yang selama Ini menjadi pusat pertumbuhan ekonomi global.