Rabu 24 Jul 2013 19:20 WIB

'Green Financing' Masih Sepi Peminat

Rep: Muhammad Iqbal / Red: Djibril Muhammad
Pembiayaan syariah
Pembiayaan syariah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Green financing belum diminati untuk membiayai green project di Indonesia.  Hal tersebut disebabkan green project kerap dinilai sebagai proyek yang seksi tetapi menakutkan (sexy but scary). 

Direktur Utama PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) Emma Sri Martini mengatakan dari sisi pembiayaan, green project sebenarnya dapat menghasilkan keuntungan yang besar. Akan tetapi, terdapat risiko-risiko yang membuat pembiayaan, khususnya dari sisi perbankan sulit untuk masuk ke dalamnya.

"Environment sustainability belum teruji. Perbankan juga hati-hati mengingat resikonya besar serta khawatir ada miss match dari sisi tenor pembiayaannya," kata Emma, Rabu (24/7).

Emma menyampaikannya dalam temu pers seusai penandatanganan Nota Kesepahaman Kerja Sama untuk Green Prosperity Project antara Millennium Challenge Account Indonesia (MCA-Indonesia) dengan PT SMI, PT Indonesia Infrastructure Finance (PT IIF)dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk di kantor Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas.

Sebagai catatan, green financing adalah suatu konsep pembiayaan atau kredit dan produk-produk jasa perbankan lainnya yang mengutamakan aspek-aspek keberlanjutan, baik ekonomi, lingkungan sosial-budaya dan teknologi secara bersamaan. Sedangkan green project adalah proyek yang berbasiskan kepada aspek-aspek yang ramah lingkungan.

Direktur Utama PT IIF Kartika Wirjoatmodjo menjelaskan, selain dari sisi pembiayaan, belum diminatinya green project juga tak lepas dari karakter komersialnya.

Kartika membandingkan antara pembangkit listrik tenaga uap dan diesel dengan pembangkit listrik berbasiskan mikrohidro dan biomassa. Dari aspek bahan baku, batu bara maupun solar selama ini telah memiliki harga dan suplai yang pasti. 

Sementara untuk energi terbarukan, Kartika mengibaratkannya seperti ayam dan telur. Suplai bahan baku sampah untuk pembangkit listrik berbasiskan biomassa belum tentu tersedia secara konstan dalam jangka waktu tertentu.

"Jadi untuk mengembangkan pembangkit dengan tenaga 5 MW untuk 10 tahun ke depan terasa beresiko.  Oleh karena itu, perlu suplai yang sustainable," kata Kartika. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement