REPUBLIKA.CO.ID, Pagi masih merambat di Tegal Waru. Hanya, dingin tak lagi terasa. Desa yang terletak di kaki Gunung Salak itu sudah dihangatkan oleh aktivitas sekitar duabelas ribu jiwa warganya.
Kesibukan juga harus dilakoni oleh Tatiek Kancaniati. Sehari-hari, ibu tiga orang anak itu harus sudah berkeliling ke enam Rukun Warga disana. Setidaknya, terdapat delapan usaha tersebar di seluruh RW yang dia bina.
Desa Tegal Waru dikenal dengan desa wirausaha. Tak seperti desa entrepreneur lain, Tegal Waru memiliki keberagaman jenis bsnis. Dari agrikultur, kerajinan hingga pengolahan limbah.
Mulai di RW 01 yang dikenal sebagai tempat kerajinan tas. Terdapat setidaknya 500 kepala keluarga yang memiliki ketrampilan untuk membuat tas perempuan. Tidak sekadar kerajinan, tas industri rumahan ini bahkan sempat memasok merek ekspor ternama, Capriasi.
Merek Capriasi sempat melanglang hingga ke Eropa. Hanya, saat ini kontrak pengrajin dengan Capriasi tak berkelanjutan. "Katanya sih gara-gara krisis Eropa,"ujar Tatiek.
Akan tetapi, Tatiek tidak patah arang. Melalui pasar domestik dan pasar online, tas tersebut dapat dipasarkan dengan berbagai merek pemesan. Tas itu memenuhi kios-kios pedagang di Pasar Senen Jakarta, juga Matahari. Tas-tas itu pun laris di sentra penjualan Cimori, Puncak.
Sebagai tambahan, mereka juga melayani untuk membuat tas-tas sponsor.Para pengrajin pun bisa mendapatkan pendapatan lebih dari lumayan dari produksi tas tersebut.
"Mereka pernah ditawari pindah kerja oleh pengusaha Cina dengan gaji Rp 3 juta. Tapi ditolak karena pendapatannya sudah Rp 6 juta,"jelasnya.
Tidak hanya tas, di RW 01, komunitas lainnya memilih alternatif pencaharian keluarganya sebagai pengrajin anyaman bambu dan bilik. Mereka akan menjual anyaman tersebut ke pengepul untuk kemudian dipasarkan ke berbagai daerah di Bogor.
Bergeser ke RW 02, terdapat pengrajin pandai besi dan pesanan golok ukir. Biasanya, banyak pemesan dari Jakarta yang membeli golok itu untuk koleksi.
Lain lagi di RW 03. Dengan wilayah yang masih didominasi oleh lahan pertanian, menjadikan warga memilih menggarap lahan mereka dengan tanaman obat, buah dan tanaman hias.
Beranjak ke RW 04, terdapat berbagai industri pembuatan selai kelapa. Komunitas di kampung ini memproduksi selai yang diperoleh pembiakan ikan patin.
Tidak hanya selai, warga memanfaatkan limbah indusri kelapa dengan melahirkan aneka usaha baru seperti briket arang, nata de coco dan membuat hiasan/aksesoris. Untuk kerajinan aksesoris, Tatiek mengaku melibatkan komunitas slankers untuk turut membuat inovasi.
Tak mau kalah dengan tetangganya, warga RW 05 menjalani industri ternak berupa peternakan sapi, domba, kelinci. Ada juga usaha pengrajin kasur dan buah potong.
Meski menggunakan media produksi yang sangat sederhana, namun bisnis ini telah mampu memberikan pendapatan lumayan kepada para keluarga.
Sedangkan warga RW 06 memang didominasi oleh pedagang dan tukang bangunan. Hanya, beberapa komunitas warga memilih untuk usaha golek, ayam arab, ikan hias, budidaya patin dan pengrajin bebek.
Dulu, setiap industri rumah tangga di desa ini memiliki kesulitan untuk memasarkannya. Hanya, Tatiek memberi pendampingan kepada unit usaha tersebut agar dapat berbisnis dengan baik. Dia pun berinovasi untuk memasarkan ragam produk Desa Tegal Waru.