REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) menyatakan pelemahan nilai tukar rupiah merupakan akibat dari merespon perkembangan kebijakan bank sentral AS The Fed yang menarik dana-dana dari aset keuangan di kawasan Asia seiring membaiknya perekonomian negara tersebut.
"Saya minta untuk melihat ini jangan terlalu bertendensi, yang pasti ini adalah respon dari global dan regional terhadap perkembangan kebijakan di Amerika," kata Gubernur BI Agus Martowardojo di Jakarta, Senin (3/6).
Agus mengatakan, pelemahan nilai tukar tersebut juga dialami oleh negara-negara berkembang di Asia lainnya seperti Filipina dan Thailand karena adanya kekhawatiran akan kekurangan likuiditas dolar. "Jadi ini respon dari semua negara. Nah kalau diamati currency (nilai tukar) dari negara-negara yang ada di regional semua melemah bahkan lebih lemah dari pada Indonesia," tutur Agus.
Akan tetapi, lanjut Agus, kebutuhan dolar untuk korporasi pada akhir bulan Mei memang cukup tinggi. Menurut Agus, BI terus memantau perkembangan nilai tukar rupiah dan akan melakukan intervensi jika diperlukan.
"Kami intervensi karena mau memberikan 'confidence' (kepercayaan diri) bahwa ini semua kami amati dan yang kami sampaikan bahwa tidak perlu ragu pada likuiditas. Jadi kami akan berikan confidence itu, kami akan masuk bila diperlukan dan kami akan jaga supaya nilai tukar itu betul-betul mencerminkan fundamental nilai ekonomi," papar Agus.
Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan pelemahan nilai tukar rupiah memang terjadi karena ada sentimen global (quantitative easing) sehingga investor global menarik dananya dari Asia, namun juga ada faktor khusus yang mempengaruhi nilai tukar tersebut. "Kalau faktor khusus karena ada persepsi pasar terhadap BI rate, neraca pembayaran, dan masalah fiskal," ujar Perry.
Perry menegaskan, BI akan terus memantau dan akan melakukan intervensi jika diperlukan baik intervensi di pasar valas maupun pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di paar sekunder, untuk menjaga agar nilai tukar rupiah sesuai dengan kondisi fundamentalnya. "Maksudnya sesuai dengan kondisi fundamental itu yakni konsisten dengan perkiraan inflasi ke depan, dengan pertumbuhan ekonomi ke depan, dan konsisten dengan kondisi neraca pembayaran sekarang," kata Perry.