REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Insentif fiskal yang disediakan oleh pemerintah untuk mendorong investasi di dalam negeri dinilai kurang kompetitif. Ekonom Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Latif Adam mengatakan, dibandingkan negara-negara ASEAN, insentif yang diberikan Indonesia masih kalah dengan Thailand maupun Malaysia. "Ini penting untuk diperhatikan oleh pemerintah," ujar Latif kepada ROL, Rabu (22/5).
Menurut Latif, insentif fiskal di Thailand lebih dinamis dari sisi durasinya. Misalnya pada investasi yang bersifat padat karya, diberikan pengurangan pajak yang diberikan tinggi. Begitupun apabila investor berinvestasi pada daerah terbelakang.
Latif menjelaskan, pada dasarnya insentif fiskal diberikan kepada negara-negara berkembang akibat iklim investasi yang belum kondusif. Hal tersebut disebabkan banyaknya sejumlah permasalahan yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi. Misalnya karena kondisi infrastruktur yang buruk ataupun birokrasi yang rumit. Oleh karena itu, insentif diberikan untuk mendorong investasi.
Selama ini, ujar Latif, pemerintah telah mengupayakan berbagai cara untuk mendorong investasi melalui pemberian tax allowance maupun tax holiday. Akan tetapi, sampai saat ini sangat minim perusahaan yang memanfaatkannya. "Artinya yang ditawarkan pemerintah tak menarik," kata Latif.
Selain itu, ada sejumlah isu yang menjadi perhatian investor seperti betapa rumit dan berbelit-belitnya proses untuk mendapatkan insentif. Di mata investor, kata Latif, pemerintah dinilai setengah hati karena ketika promosi dilakukan di negara-negara sumber investor, salah satu yang digembar-gemborkan adalah pemerintah akan menyiapkan insentif seperti tax holiday.
"Satu hal yang harus dibenahi adalah simpul-simpul tersebut. Sehingga insentif tak hanya berada dalam tataran konsep," ujarnya.
Lebih lanjut, Latif mengatakan rincian insentif fiskal yang diberikan harus disusun secara transparan, rigid dan komprehensif. Pembedaan antara tiap sektor maupun daerah investasi harus jelas. Kemudian, diperlukan harmoninasi antara pemerintah pusat dan daerah.
Menurut Latif, percuma apabila insentif fiskal ditawarkan kepada investor, namun berbagai tagihan tambahan dari daerah berupa pajak maupun retribusi harus ditanggung investor. "Itu mendesak untuk diperbaiki," ucapnya.