REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah perlu memperhatikan dua aspek terkait utangnya yang telah menembus Rp 2.023,72 triliun per April 2013. Ketua Koalisi Anti Utang (KAU) Dani Setiawan menyatakan hal pertama yang harus dicermati menyangkut nominal yang terus bertambah. "Terlihat adanya peningkatan meskipun rasio (terhadap PDB) mengalami penurunan dari tahun ke tahun," ujar Dani kepada ROL, Selasa (21/5).
Peningkatan nominal memiliki pengaruh yang besar terhadap pembayaran cicilan bunga dan pokok utang dalam anggaran. Sebagai gambaran, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2013, rencana pembayaran utang pemerintah tercatat Rp 299,7 triliun.
Besaran itu, menurut Dani, sangat besar jika dibandingkan dengan pagu subsidi bahan bakar minyak (BBM) senilai Rp 193,8 triliun. "Padahal, subsidi kerap dianggap sebagai beban anggaran," kata Dani.
Dani menyebut pemerintah tidak memiliki orientasi untuk mengurangi nominal utang. Hal yang terjadi adalah akumulasi utang terus bertambah sehingga membuat kebijakan perekonomian terjebak di lingkaran utang.
Dia juga menjelaskan kesepakatan utang baru, khususnya dalam berutang terhadap negara maupun kreditur luar negeri membuka peluang terjadinya intervensi kebijakan. Aspek-aspek ekonomi politik itu ditanggapi naif oleh pemerintah yang mengklaim kebijakan yang ada sudah sesuai dengan keinginan pemerintah. "Faktanya tidak demikian. Ini yang menyebabkan kita semakin jauh dari tujuan pembangunan sesuai amanat konstitusi," ujar Dani.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan mencatat per April 2013 outstanding utang pemerintah sebesar Rp 2.023,72 triliun. Jumlah itu meningkat senilai Rp 433,06 triliun dibandingkan akhir 2009 silam. Dalam APBN 2013, rencana pembayaran utang pemerintah sebesar Rp 299,7 triliun. Rinciannya pembayaran pokok utang senilai Rp 186,46 triliun dan pembayaran bunga Rp 133,24 triliun.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan, sampai dengan 28 Maret 2013 dari total defisit Rp 153,3 triliun, telah terpenuhi pembiayaan Rp 36,3 triliun atau 23,7 persen. Rinciannya realisasi pembiayaan dalam negeri Rp 42,4 triliun atau 24,6 persen dari pagu Rp 172,8 triliun. Sedangkan pembiayaan luar negeri (neto), realisasinya defisit 6,1 triliun atau 31,4 persen dari pagu Rp 19,5 triliun.