Senin 20 May 2013 16:58 WIB

Rupiah Melemah Akibat Pasar Tidak Percaya Lagi

Rep: Friska Yolandha/ Red: Nidia Zuraya
Transaksi valas -ilustrasi
Transaksi valas -ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lemahnya kurs rupiah terhadap dolar AS di pasar valuta asing disebabkan oleh tidak kunjung pastinya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Ketidakpastian ini menciptakan ketidakpercayaan pasar terhadap rupiah.

"Sentimen dalam negeri yang membuat pergerakan rupiah menjadi anomali," ujar analis pasar uang Farial Anwar kepada ROL, Senin (20/5).

Tingginya indeks harga saham gabungan (IHSG) seharusnya juga ikut melambungkan kurs rupiah terhadap dolar. Pasalnya 60 persen pasar digerakkan pembelian saham oleh asing. Sedangkan untuk pembelian saham tersebut, asing harus menukar dolar AS ke rupiah. Namun kenyataannya, meskipun IHSG terus mencetak rekor, kurs rupiah fluktuatif, bahkan cenderung melemah.

Galaunya pemerintah dengan kebijakan BBM subsidi membuat pasar tidak percaya dengan rupiah. Baik institusi maupun individu lebih memilih untuk menyimpan asetnya dalam bentuk dolar. "Mereka takut nilainya terus merosot," kata Farial.

Ditambah lagi neraca perdagangan nasional masih defisit. Dan suplai dolar AS di pasar terus berkurang. Hal ini meningkatkan nilainya di pasar valuta asing.

Kebijakan BBM subsidi membuat ketidakpastian panjang. Padahal kebijakan inilah yang paling ditunggu pasar. Pasar, terutama asing, tidak senang dengah hal-hal yang abu-abu seperti kebijakan BBM saat ini. "Ini konyol," kata dia.

Untuk mencegah pelemahan yang berkepanjangan, Bank Indonesia (BI) melakukan intervensi dengan mengeluarkan dolar dari cadangan devisa. Padahal cadangan devisa bukanlah untuk intervensi BI dalam mencegah pelemahan.

Cadangan devisa terus tergerus akibat pelemahan rupiah. Per April cadangan devisa negara tinggal 107,269 miliar dolar AS. Padahal cadangan akhir 2012 mencapai 112,781 miliar dolar AS.

Farial menilai kenaikan harga BBM bersubsidi akan meningkatkan inflasi. Pasalnya BBM termasuk biaya produksi paling besar dan dampak kenaikannya akan besar pula. Ditambah lagi pola pikir masyarakat Indonesia yang sedikit sentimen langsung merespon pasar.

"Ketika ada kabar BBM naik, harga ikut naik. Ketika BBM resmi naik, harga kembali naik," kata Farial. Ini yang akan membuat inflasi menjadi tinggi seperti ketika pemerintah menaikkan harga BBM pada 2005 dan 2008.

Di waktu harga BBM naik pada Oktober 2005, inflasi mencapai 17,89 persen. Di bulan berikutnya inflasi kembali melambung menjadi 18,38 persen. Hal serupa juga terjadi ketika BBM naik pada Juni 2008. Inflasi Juni 2008 mencapai 11,03 persen. Bulan berikutnya inflasi tercatat 11,90 persen.

Terkait penurunan peringkat oleh Standard and Poor Rating, Farial menilai tidak berpengaruh besar terhadap pelemahan rupiah. Pasalnya rupiah telah melemah sebelum S&P menetapkan outlook Indonesia menjadi stabil.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement