REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga pemeringkat Standard & Poor's merevisi proyeksi ekonomi Indonesia dari positif menjadi stabil.
Kepala Ekonom Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan revisi itu menunjukkan adanya kemungkinan Indonesia tidak akan memperoleh status investment grade dari S&P dalam enam bulan hingga satu tahun ke depan.
Selama ini, kata Yudhi, S&P senantiasa menginginkan pertumbuhan ekonomi Indonesia berkesinambungan di atas 6,5 persen. Salah satu patokan dan pertanyaan yang dilontarkan S&P adalah apakah pembangunan infrastruktur telah berjalan sesuai perencanaan.
"Revisi ini memberikan indikasi S&P belum melihat sinyal yang cukup kuat bahwa pembangunan infrastruktur telah sesuai dengan yang direncanakan," tutur Yudhi saat ditemui di sela-sela acara diskusi panel terkait kenaikan harga BBM di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jumat (3/5).
Selain itu, Yudhi menyebut S&P kerap menanyakan inefisiensi anggaran yang masif karena belanja subsidi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dinilai cukup besar.
Salah satu yang tengah menjadi perhatian pemerintah adalah mengurangi subsidi BBM yang menyentuh Rp 193,8 triliun di APBN 2013. Namun sebagaimana diketahui, pemerintah baru akan menaikkan harga BBM apabila dana kompensasi telah disetujui DPR.
Hal ini yang membuat masalah subsidi BBM diperkirakan belum akan tuntas dalam satu hingga dua bulan ke depan. Masalah penundaan ini pun turut memengaruhi penilaian S&P.
"Itu alasan S&P tidak memberikan investment grade kepada kita. Mereka khawatir Indonesia tidak bisa menjaga kesehatan fiskal," kata Yudhi.