REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah diminta untuk segera mengeluarkan kebijakan terbaru terkait pengendalian subsidi bahan bakar minyak (BBM). Ekonom Universitas Atmajaya A Prasetyantoko mengatakan berlarut-larutnya pengambilan keputusan akan mengakibatkan implikasi kepada fiskal dan stabilitas ekonomi makro.
"Secara prinsip, secepatnya ambil keputusan. Lebih cepat lebih baik," tutur Prasetyantoko kepada wartawan saat ditemui di Gedung Mahkamah Agung, Senin (15/4).
Menurut Prasetyantoko, kebijakan apapun yang akan diambil pemerintah terkait pengendalian subsidi BBM, hendaknya tidak dieksekusi pada semester II 2013. Sebab, tingkat inflasi saat ini tengah menunjukkan tren penurunan. Terakhir, inflasi Maret tercatat 0,63 persen. "Nanti kalau sudah memasuki Juni, inflasi akan naik lagi," kata Prasetyantoko.
Terkait rencana penerapan dua harga BBM bersubsidi yang dilontarkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik, ia menilai upaya itu memang mampu mengurangi beban subsidi. Akan tetapi, dampaknya tidak akan signifikan dibandingkan menaikkan harga. "Tapi sekarang kan keinginan untuk menaikkan harga lebih kepada pertimbangan politik, bukan ekonomi," ujarnya.
Dia meyakini keputusan yang akan diambil tidak akan berupa menaikkan harga. Pembatasan bagi kendaraan pribadi untuk meminum BBM bersubsidi sepertinya akan diambil. Berdasarkan perhitungannya, pembatasan konsumsi BBM bersubsidi dapat mampu menghemat anggaran negara sekitar Rp 25 triliun-Rp 30 triliun.
Tapi, Prasetyantoko mengingatkan, ada masalah dari sisi kontrol saat implementasi di lapangan. Jika kontrol tidak dilakukan dengan matang, pada akhirnya keputusan yang diambil tidak akan mengurangi konsumsi. Akibatnya, pengurangan beban subsidi juga tidak akan maksimal.