REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lambannya keputusan soal harga BBM bersubsidi diyakini bakal membawa dampak pada pelemahan rupiah. Bahkan akibat persoalan ini, kondisi rupiah bisa terancam tak stabil.
Belum adanya kebijakan yang efektif untuk menekan konsumsi BBM bakal memperlebar defisit migas karena meningkatnya impor minyak untuk mencukupi kebutuhan nasional. "Akibatnya defisit berjalan kita terganggu dan rupiah akan tertekan," kata Plt Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro, saat ditemui di penyerahan Amandemen Energy Sales Contract (ESC)/ Joint Operating Contract (JOC) PLTP Sarulla, Kamis (11/4).
Karenanya, ia menegaskan kebijakan ketat untuk menekan konsumsi BBM bersubsidi ini memang wajib diberlakukan. Bukan hanya menghemat subsidi, pengetatan pada konsumsi berlebih masyarakat akan mampu menekan anggaran pendapatan belanja negara (APBN).
Namun dibanding cara lain, ia memandang memang kenaikan merupakan langkah paling rasional. "Kalau kita menaikkan harga Rp 1.500 di bulan Mei, kira-kira penghematan bisa mencapai Rp 35 triliun sampai Rp 45 triliun di akhir tahun," jelasnya.
Tapi, dijelaskannya, keputusan terkahir apakah BBM bisa naik atau tidak tetap berada di tangan Presiden. Pastinya, menurutnya pihaknya sudah memberikan kajian dampak atas semua opsi yang mungkin diambil pemerintah.
"Kita sudah sampaikan itu, baik dampak fiskal, pertumbuhan, kemiskinan, penmgangguran, inflasi," katanya. Ini masih harus dihitung dan dikalkulasi Presiden.