Jumat 15 Mar 2013 16:44 WIB

Importir Baru Penyebab Pasar Gagap

Rep: Meiliani Fauziah/ Red: Nidia Zuraya
Pedagang mengambil bawang putih impor dari Cina untuk ditimbang di Pasar Senen, Jakarta, Rabu (13/3).
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Pedagang mengambil bawang putih impor dari Cina untuk ditimbang di Pasar Senen, Jakarta, Rabu (13/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peraturan baru terkait impor produk hortikultura merupakan perwujudan amanat undang undang pangan. Kedua pihak, yaitu Kementerian Pertanian (Kementan) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag) seharusnya bisa mengendalikan importir.

Kenyataannya, justru jumlah importir semakin membengkak sejak diberlakukannya peraturan tersebut. Kehadiran pemain baru inilah yang menyebabkan terjadinya kegagapan pasar. "Karena dia (importir baru) mesti membentuk jaringan pemasaran baru, yang selama ini sudah dikuasai pemain lama," ujar Ketua Komisi IV DPR RI, Romahurmuzy, Jumat (15/3).

Untuk itu kedua kementerian harus melakukan introspeksi awal. Pemerintah perlu mencari penyebab mengapa kebijakan baru justru ditunggangi para pemain baru. Padahal tujuan awal kebijakan ini adalah untuk mengkonsolidisir pemain lama.

Lalu pemerintah perlu mengkaji ulang sistem yang berlaku, termasuk syarat administrasi yang berbelit. Apalagi Menteri Pertanian sebelumnya beralasan bahwa Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) yang terlambat keluar akibat dokumen yang ada terlalu banyak. "Membuat kebijakan kok menyulitkan diri sendiri dan dunia usaha? " tanya politikus PPP ini kepada ROL.

Selanjutnya, Kementan dan Kemendag perlu berkaca lebih jujur. Ada kekosongan antara bulan Juni 2012 hingga Desember 2012 yang semestinya bisa dipakai untuk menyelesaikan RIPH dan Surat Persetujuan Impor (SPI). Lambannya kerja pemerintah jangan sampai menyulitkan dunia usaha. Pasar pun tidak bisa menunggu.

Dewan berharap pemerintah segera melakukan evaluasi dan memperpendek mekanisme penerbitan RIPH dan SPI. Selanjutnya Kementan, Kemendag dan Ditjen Bea Cukai juga lekas membereskan penumpukan ratusan kontainer bawang yang tertahan di Tanjung Perak, Surabaya. Terobosan kebijakan dianggap perlu, jika penumpukan ini dibuktikan akibat lambatnya penerbitan RIPH.

Krisis bawang perlu penanganan yang cepat. Dewan khawatir kekosongan kebijakan justru dimanfaatkan untuk memeras pengusaha yang berniat menormalisasi harga pasar. Selain itu, Dewan juga menyinyalir kemungkinan keterlibatan pihak tertentu yang memainkan harga pasar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement