Ahad 24 Feb 2013 15:07 WIB

Banyak Pebisnis Manfaatkan IPO Untuk Kepentingan Pribadi

Rep: Friska Yolandha/ Red: Nidia Zuraya
Pencatatan saham perdana Garuda Indonesia Tbk di Bursa Efek Indonesia, Jakarta.
Foto: Antara/Geri
Pencatatan saham perdana Garuda Indonesia Tbk di Bursa Efek Indonesia, Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penawaran umum saham perdana (initial public offering/IPO) yang dilakukan perusahaan bertujuan menggalang dana untuk mengembangkan bisnis perusahaan. Namun ternyata IPO tidak hanya digunakan untuk pengembangan usaha saja, tetapi untuk kepentingan pribadi pemilik perusahaan.

Ketua Asosiasi Analis Efek Indonesia (AAEI) Haryajid Ramelan mengungkapkan IPO harus dimanfaatkan perusahaan untuk memperkuat merek dagang emiten di mata internasional. Dengan begitu perseroan dapat memperoleh kucuran dana yang lebih besar lagi dari investor.

"Emiten juga menjadi lebih terbuka karena seluruh kegiatannya dibaca publik," kata Haryajid, akhir pekan lalu.

Sayangnya tujuan mulia IPO banyak yang disalahgunakan oleh para emiten. Haryajid menilai banyak emiten yang melakukan IPO hanya untuk mengumpulkan dana segar sementara. Saat mereka sudah memperoleh dana segar dengan melepas saham ke publik, perlahan saham-saham tersebut diambil kembali oleh pemilik perusahaan sehingga saham publik mengecil.

Hal ini bisa dilihat di beberapa perusahaan yang hanya memanfaatkan IPO dengan menggalang dana sementara. Pada awalnya perusahaan melakukan ekspansi dan pengembangan bisnis. Namun selanjutnya perusahaan malah bertumbuh landai atau bahkan stagnan. "Kecenderungan ini tidak terjadi hanya pada perusahaan kecil, namun juga perusahaan besar," kata Haryajid.

Hanya saja kejadian ini memang lebih banyak dilakukan oleh perusahaan berskala kecil hingga menengah. Perusahaan-perusahaan ini banyak yang berniat menjadi kuat namun tidak rela melepaskan sahamnya ke publik. Perusahaan ini juga tidak memiliki tata kelola perusahaan yang baik sehingga perkembangannya tersendat.

Sebagian besar perusahaan melepaskan 20-30 persen sahamnya pada saat IPO. Tidak ada yang berani melepas lebih dari itu. Setelah dimonitor beberapa lama, 90 persen saham yang dilepas justru kembali lagi ke perusahaan. "Modus seperti ini tidak baik bagi perusahaan," ujarnya.

Ada perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh 200-300 investor. Namun ketika ditelisik investor-investor tersebut adalah karyawan si perusahaan itu sendiri. Sehingga tujuan IPO yang sesungguhnya tidak tercapai secara optimal.

Oleh karena itu AAEI mendorong Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk memberikan edukasi dan sosialisasi yang baik kepada emiten agar perusahaan yang melantai di bursa merupakan perusahaan yang berkualitas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement