REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengakui pembubaran BP Migas sempat menimbulkan kecemasan dari berbagai kalangan yang mempertanyakan kepastian hukum terkait presdiksi dari kebijakan dan regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah.
"Kemarin saya dengar laporan (putusan MK) jam 11 siang, 13 November 2012. Tentu ada implikasinya. Pertama, apa yang saya pantau memang putusan itu menimbulkan kecemasan menyangkut legal certainty di negeri ini. Juga menyangkut 'predictability over policy and regulation' yang dikeluarkan oleh pemerintah," kata Presiden di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (14/11), mengenai putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
Ia mengatakan di negara manapun juga dunia investasi dan dunia usaha memerlukan jaminan kepastian hukum dan prediktabilitas dari kebijakan yang ada untuk mengambil keputusan.
"Kalau ini tidak segera saya ambil alih situasinya, isu tentang ketidakpastian bisa mengganggu iklim investasi yang sebenarnya sekarang makin baik dibandingkan 10 tahun lalu misalnya," kata Presiden merujuk pada keperluan penerbitan peraturan presiden untuk mengisi kevakuman kepastian hukum.
Kepala Negara mengatakan bahwa saat perekonomian dunia mengalami kesulitan seperti saat ini tidak semua negara memiliki peluang itu. Ia juga mengatakan tanpa pertumbuhan ekonomi, tidak tercipta lapangan pekerjaan sehingga investasi sangat penting.
"Sektor minyak ini juga penting, sekitar Rp300 triliun setahun. Oleh karena itu iklim ini tidak boleh ada goncangan," ujarnya.
Pada kesempatan itu Presiden mengatakan bahwa pemerintah taat dan menjalankan putusan MK yang bersifat final dan mengikat dengan menerbitkan peraturan presiden sebagai aturan resmi untuk menghindari kevakuman.
"Pemerintah mulai besok akan menyusun aturan pasti yang akan menjadi UU yang baru agar dunia bisnis hulu migas ini berlangsung dengan baik, transparan, bebas dari penyimpangan, dan sebagainya mengingat minyak dan gas bumi adalah aset negara dan kekuatan ekonomi serta masa depan Indonesia," kata Presiden.
Pada Selasa (13/11) Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pasal yang mengatur tugas dan fungsi Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) yang diatur dalam UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan UUD dan tidak memiliki hukum mengikat.
MK menyatakan Frasa 'dengan Badan Pelaksana' dalam Pasal 11 ayat (1), frasa 'melalui Badan Pelaksana' dalam Pasal 20 ayat (3), frasa 'berdasarkan pertimbangan dari Badan Pelaksana dan' dalam Pasal 21 ayat (1), frasa 'Badan Pelaksana dan' dalam Pasal 49 UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
MK juga menyatakan Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pengujian UU Migas ini diajukan oleh 30 tokoh dan 12 organisasi kemasyarakatan (ormas) di antaranya Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Lajnah Siyasiyah Hizbut Tahrir Indonesia, PP Persatuan Umat Islam, PP Syarikat Islam Indonesia, PP Lajnah Tanfidziyah Syarikat Islam dan PP Al-Irsyad Al-Islamiyah.
Kemudian PP Persaudaraan Muslim Indonesia, Pimpinan Besar Pemuda Muslimin Indonesia, Al Jami`yatul Washliyah, Solidaritas Juru Parkir, Pedagang Kaki Lima, Pengusaha dan Karyawan (SOJUPEK), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia dan IKADI.