REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2013 akan segera disahkan menjadi APBN 2013. Menyoal pengesahan itu, The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai APBN 2013 akan sulit menjawab permasalahan-permasalahan krusial di tanah air.
Permasalahan-permasalahan itu antara lain masalah pengangguran, kemiskinan, deindustrialisasi serta ancaman krisis pangan dan krisis energi. Paparan ini terungkap dalam konferensi pers terkait Pra Sarasehan Ekonomi "Menyusun Ulang Pembangunan Ekonomi Indonesia Menyongsong 2014" di The Energy Building, Jakarta, Selasa (16/10).
Ekonom senior INDEF Didik J Rachbini mengatakan APBN merupakan pilar ekonomi bangsa Indonesia. Akan tetapi, pilar ini bersama-sama oleh pemerintah dan DPR dirusak struktur serta postur anggarannya.
Padahal, anggaran di dalam APBN sebagian besar bersumber dari masyarakat. "Pemerintah tersandera oleh APBN," tegas Didik.
Dengan struktur yang sekarang, imbuhnya, muncul warisan yang buruk bagi pemerintah dan parlemen yang akan datang. Secara khusus, Didik menyoroti tingginya angka subsidi yang mencapai Rp. 314 triliun. "Kebijakan subsidi ini paling lucu dan naif di muka bumi ini," sindir Didik.
Direktur INDEF Enny Sri Hartati mengatakan APBN 2013 tidak ada bedanya dengan APBN 2012. Masih terdapat sejumlah masalah walaupun volume RAPBN 2013 mencapai Rp. 1.657,9 triliun.
Pasalnya, postur APBN 2013 tetap didominasi oleh kepentingan birokrasi dan tersandera oleh beban subsidi serta hutang.
Sebagai gambaran, dalam lima tahun terakhir rata-rata pendapatan negara meningkat sebesar 10,92 persen, sementara rata-rata belanja negara meningkat 14,55 persen.
Ironisnya, Enny menyebut kebijakan defisit anggaran saat ini tidak diperuntukkan untuk meningkatkan peran stimulus fiskal. "Padahal, stimulus fiskal dibutuhkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi ke depannya," tutur Enny.