REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Hartadi A Sarwono mengatakan pelemahan nilai tukar rupiah sejak pekan lalu mengarah pada level keseimbangan yang baru di atas Rp 9.500 per dolar AS.
"Pelemahan rupiah memang lebih dalam ketimbang mata uang regional lainnya karena nilai tukar rupiah sedang dalam transisi menuju keseimbangan barunya sesuai dengan kondisi fundamental yaitu defisit transaksi berjalan yang memburuk," kata Hartadi di Jakarta, Senin (27/8).
Menurutnya, pelemahan rupiah ini sejalan dengan 'regional currency' lainnya, yang disebabkan karena belum selesainya masalah Eropa juga terdapat negatif sentimen perkembangan situasi di Cina yang tidak sesuai harapan pasar.
"Namun saya perkirakan penyesuaian nilai tukar ini berlangsung secara normal atau 'orderly adjustment' dan temporer karena akan segera kembali membaik sejalan dengan prediksi defisit transaksi berjalan yang kembali menurun ke tingkat yang manageable," katanya.
Menurutnya, dengan pelemahan ini, nilai tukar rupiah sedang dalam transisi ke keseimbangan barunya yang tentunya dapat mendorong ekspor dan mencegah impor yang terlalu besar.
Pengamat ekonomi A Tony Prasetyantono mengatakan, rupiah memang sebaiknya melemah hingga akhir tahun ini mengingat kondisi defisit transaksi berjalan yang sudah mengkhawatirkan.
"Rupiah lebih baik melemah daripada menguat, posisinya bagus jika dijaga di Rp 9.600 - Rp 9.700 per dolar AS. Ini akan baik menjaga daya saing ekspor," katanya.
Meski akan meningkatkan inflasi, pelemahan rupiah sampai akhir tahun tidak akan mendorong inflasi lebih dari lima persen. Pelemahan ini juga akan menekan impor sehingga defisit transaksi berjalan akan membaik. Nilai tukar rupiah sejak Sabtu (24/8) mulai melemah ke Rp9.504 per dolar AS dan Senin ini kembali melemah ke Rp 9.515 per dolar AS.