REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Isu penolakan garam impor oleh kalangan petani garam lokal ditampik langsung oleh sejumlah kelompok tani garam di Madura. Ketua Asosiasi Petani Garam (Aspag) Pamekasan, Faishal Baidlawi, justru mempertanyakan sumber informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan yang menghembuskan kabar tersebut.
"Saya curiga ini hanya masalah kepentingan politik yang dibawa ke arah ekonomi, karena petani saat ini justru sangat berdaya," ujar Faishal saat ditemui Republika di Desa Ragung, Sampang, Madura, Kamis (18/8).
Berdasarkan catatannya, per 8 Agustus, Madura telah memproduksi garam rakyat hingga 28 ribu ton. Rinciannya, Kabupaten Sampang memproduksi 16.000 ton; Pamekasan 5.000 ton; dan Sumenep 7.000 ton. "Dan semuanya selalu habis terserap industri, kami tidak ada masalah di sini," tambahnya.
Faishal menuturkan, pihak tani garam mendengar bahwa Kementerian Kelautan dan Perikana menentang rencana Kementerian Perdagangan yang akan mengimpor garam dari negara lain. KKP beranggapan bahwa sentra-sentra garam yang ada di Indonesia sudah mencukupi untuk memasok kebutuhan garam domestik.
Faishal menegaskan bahwa KKP memperoleh informasi yang berbeda dari data milik Kemendag, yang sama dengan data petani garam dan asosiasi.
Data yang dimiliki Aspag, Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia dan Aliansi Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia (A2PGRI) menunjukan, per 8 Agustus kapasitas produksi garam rakyat di Madura baru 28 ribu ton.
Sementara KKP, memegang data dari Asosiasi Petani Garam seluruh Indonesia (Apgasi), memegang angka produksi garam rakyat pada Agustus hingga 100 ribu ton. Faishal menekankan angka ini salah dan menyesatkan. Terlebih, keberadaan Apgasi tidak diakui dikalangan petani garam Indonesia.
Jika mengacu pada target nasional sebesar 1,2 juta ton selama masa panen raya yang awalnya diprediksi terjadi pada 1 Juli-31 Oktober, pertengahan Agustus ini setidaknya produksi garam hanya di Madura telah mencapai 120 ribu ton. Nyatanya, cuaca yang mendung dan hujan, membuat produksi terhambat dan hanya menghasilkan 30 ribu ton hingga saat ini.
Faishal pun memprediksi, target produksi garam nasional hanya tercapai 750 ribu ton dari 1,2 juta ton yang ditargetkan pemerintah. "Kami pesimis karena faktor cuaca dan kadar asam basa tanah dan penyakit tanah lainnya menghambat produksi para petani garam."
Melihat keadaan ini, untuk memenuhi kebutuhan garam nasional 2011 yang mencapai 1,6 juta ton, petani garam mempersilahkan Kementerian Perdagangan untuk mengimpor kekurangan garam yang tidak dapat dipasok dari produksi dalam negeri. Sejak 2010, impor garam telah dilakukan dari Australia dan India untuk menutupi kekurangan pasokan garam lokal.
Petani garam baru akan meminta impor dihentikan sementara saat memasuki masa panen raya yang diprediksi akan terjadi dua pekan lagi.
"Pertimbangannya, kalau impor garam berbenturan dengan panen raya, saat jumlah garam rakyat melimpah tapi garam impor juga masuk, pengusaha hanya fokus ke garam impor yang lebih murah, jadi garam rakyat tersendat."
Saat ini, harga garam kualitas 1 dihargai oleh perusahaan, paling tinggi mencapai Rp 850 per kilo gram dan kualitas 2 Rp 650 per kilogram. Sementara garam dari Australia, yang kualitas 1 jauh diatas garam produksi lokal berlevel kualitas sama, hanya dijual Rp 680 per kilogram.