REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA-–Pengamat menilai, masalah Indonesia sesungguhnya bukanlah soal banyaknya utang yang dibuat. Namun ketidakmampuan mengelola utang tersebut sehingga membuat dana yang menganggur semakin banyak. Alih-alih terserap ke sektor riil, dana tersebut mengendap di sektor jasa yang berbanding lurus dengan tren konsumsi masyarakat.
Pengamat Ekonomi, Fauzi Ikhsan menyatakan, saat ini banyak dana asing yang masuk ke Indonesia tanpa bisa diwadahi secara proporsional. “Padahal uang tersebut harusnya bisa diserap oleh sektor riil untuk membiayai pembangunan proyek,” katanya, Selasa (21/6). Namun bila dana tersebut tidak diserap, maka dana tersebut akan menjadi uang panas (hot money) yang dapat menciptakan buble pada 1-2 tahun lagi.
Menurutnya, porsi utang pemerintah idealnya maksimum 60 persen dari PDB. Sementara saat ini rasio utang Indonesia terhadap PDB adalah 27 persen. Sedangkan deficit APBN idelanya di bawah 3 persen dari PDB, sementara pada 2010 posisi defisit PDB Indonesia sebesar 0,6 persen. Meskipun secara rasio level utang Indonesia masih berada kondisi yang bsia ditoleransi, namun lambat laun akan bisa menjadi masalah. “Penggunaan utang lamban dan di bawah rencana, sehingga dan menganggur menumpuk,” katanya.
Oleh karena itu, pemerintah dan Bank Indonesia diharapkan bisa bersinergi untuk menyiapkan strategi menghadapi buble ekonomi yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Pengamat ekonomi Aviliani menyatakan, selama ini sering terjadi benturan antara kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dan BI. “Akiabtnya bauran kebijakan fiskal dan moneter tidak berjalan beriringan,” katanya. Selama ini, kedua pihak tersebut terkesan saling menyalahkan terutama dalam menangani derasnya modal masuk asing (capital inflow) dan kaitannya dengan penyerapan sektor riil yang tidak optimal.
Pada masa lalu, Indonesia pernah memiliki Dewan Moneter. Keberadaannya diatur dalam Undang-Undang Bank Indonesia. Dewan tersebut beranggotakan Menteri Keuangan, Menteri Perekonomian, dan Gubernur Bank Indonesia. “Mungkin dewan seperti ini dibutuhkan lagi agar kebijakan yang diambil tidak tumpang tindih,” katanya.
Saat ini, dana asing yang masuk ke Indonesia mengalir ke pasar utang lalu mengendap begitu saja. “Keadaan ini kemudian menciptkaan penguatan ekonomi yang semu bagi Indonesia,” katanya. Karena utang tersebut hanya berbentuk portofolio investasi. Rasionya mencapai 3 kali lipat ketimbang investasi secara langsung ke sektor riil (Foreign Direct Investment/FDI). “Bila keadaan ini terus terjadi maka akan terjadi buble ekonomi,” ujarnya. Sangat mungkin uang tersebut akan keluar dari Indonesia secara mendadak. “Sementara secara fundamental ekonomi kita belum siap,” katanya.
Ekspor Indonesia dianggap berada pada tingkat membahayakan. “Kita tidak sadar rupiah menguat dan membuat daya beli kita naik,” katanya. Daya beli yang tinggi membuat konsumsi menjadi lebih besar. Selain itu, jumlah masyarakat kalangan kelas menengah yang memiliki karakteristik konsumtif juga semakin banyak. “Akibatnya, modal asing lebih banyak masuk ke sektor jasa bukan sektor produktif,” katanya.
Selain itu, memproduksi barang sendiri dianggap dianggap lebih mahal dan ekspor. “Ekspor dianggap menghasilkan sedikit uang,” katanya. Akhirnya impor meningkat. Bahkan untuk sektor pangan, Indonesia telah ketergantungan impor. Makanya bila sewaktu-waktu terjadi buble dan nilai tukar kembali melemah, maka utang akan semakin besar. “Karena disparitas nilai Rupiah dan Dolar AS semakin jauh,” katanya.
Buble memang diperkirakan tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Kondisi ini akan terjadi bila perekonomian di Amerika dan Eropa membaik. “Namun itu tidak akan terjadi dalam 4 tahun ke depan,” katanya. Sehingga Indonesia masih menjadi incaran investor asing, alih-alih memarkir uangnya di Cina dan India. “India inflasinya lebih tinggi dari Indonesia.
Sedangkan pasar Cina sudah terlalu jenuh dan pemerintahnya menerapkan pengaturan moneter yang sangat ketat,” katanya. Hanya Indonesia yang inflasinya rendah dan masih memiliki peraturan longgar,” katanya. “Apalagi Indonesia adalah gudangnya bahan baku, sehingga investor tambah diuntungkan karena semakin dekat dengan sumber dayanya,” katanya. Hingga 2050 prospek ekonomi Indonesia semakin diperkirakan semakin bagus.
Namun tetap saja kemungkinan buble harus diwaspadai. “Uang yang banyak tersebut harus dikonversi,” katanya. Caranya dengan mendorong investor masuk langsung ke investasi sektor riil. “Pemerintah bisa memberikan skim insentif misalnya tax holiday, agar mereka tertarik untuk membuat pabrik,” katanya. Cara lainnya dengan mendorong jumlah perusahaan yang melantai di bursa (IPO). “Makanya BUMN diminta untuk melakukan IPO,” katanya.