REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Karen Agustiawan, menyatakan mahalnya harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi, Pertamax cs dibandingkan keluaran stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) karena pajak yang dikenakan pemerintah. "Ya itu kan karena kita kena pajak. Saya juga minta ke Menteri Keuangan agar pengguna pertamax tidak lari ke premium, itu dihapuskan pajaknya. Jadi dikasih insentiflah," kata Karen saat ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (28/3).
Pertamina mengusulkan pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen ke pertamax dihapuskan agar harga yang ada saat ini akan lebih murah. Mahalnya harga pertamax juga dipicu Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) lima persen. Saat ini Pertamina mematok harga pertamax Rp 8.700 per liter dari sebelumnya Rp 8.100 per liter.
Pada dasarnya penerapan pajak yang diberlakukan pemerintah ke Pertamina, juga dikenakan ke SPBU asing. Kondisi seperti ini juga dibenarkan oleh Karen. Namun, ia memiliki alasan tersendiri kenapa pertamax keluaran Pertamina terhitung mahal. "Iya sama (SPBU asing) kena pajak juga. Tapi kan harus dilihat juga kita ada cost import-nya. Itu yang mahal," jelas Karen.
Kalau SPBU asing, lanjutnya, kemungkinan mendapatkan BBM dari refinery (kilang) sendiri, berbeda dengan kondisi Pertamina. "Jadi berbeda. Kita kan tidak cukup pertamax di refinery kita," tutur Karen.
Jika saat ini pertamax dipatok di level Rp 8.700 per liter, apakah nantinya Pertamina akan kembali menaikkan harga. Bahkan, harga pertamax beranjak ke level Rp 9.000 per liter, Karen menjawab, "Itu tergantung harga minyak (dunia) ya".