REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Menteri Perindustrian, Mohamad S Hidayat, mengatakan, tingkat indeks kompetitif produk petrokimia yang berasal dari Indonesia dinilai masih lebih rendah dibandingkan sejumlah negara ASEAN lainnya. "Produk petrokimia Indonesia memiliki indeks kompetitif yang lebih rendah dibanding beberapa negara ASEAN, seperti Thailand, Malaysia, dan Singapura," kata MS Hidayat saat membuka seminar internasional bertajuk 'From Petrochemicals to Bio Chemicals: High Added Value Chemicals from Plantation Industry' di Jakarta, Rabu (9/3).
Menurut Menperin, hal ini terjadi antara lain karena Indonesia pada saat ini masih harus mengimpor beragam bahan petrokimia derivatif, seperti naphta, ethylene, propylene, dan paraxylenen. Indonesia, lanjutnya, juga diperkirakan harus membayar hingga 200 juta dolar AS per tahun untuk membayar biaya transportasi beragam bahan petrokimia derivatif tersebut.
Ia mengemukakan, permasalahan pasokan bahan petrokimia yang terbatas itu juga mengakibatkan pentingnya ditemukan sumber bahan alternatif. "Salah satu alternatif potensial yang akan dikembangkan itu adalah berasal dari hasil pertanian atau perkebunan," kata Menperin.
Ia mencontohkan, minyak kelapa sawit (CPO) dapat menjadi komponen yang menjadi bahan mentah alternatif untuk industri petrokimia. Apalagi Indonesia merupakan penghasil CPO terbesar di dunia yang menghasilkan sekitar 50 persen dari seluruh pasokan minyak kelapa sawit global.
"Selain potensi besar, bahan mentah nabati dapat diperbaharui sehingga dapat mempertahankan sumber energi dan bahan mentah dalam jangka waktu yang lama," katanya.
Hidayat juga menuturkan, industri petrokimia adalah sektor industrial strategis yang kerap menjadi patokan bagi tingkat kecanggihan suatu negara di samping industri baja yang dimiliki negara tersebut.