REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Indonesia tidak buru-buru untuk membuat persetujuan perdagangan bebas (Free Trade Agreement) dengan Uni Eropa (UE) kata Wakil Menteri Perdagangan Mahendra Siregar di Jakarta, Selasa (1/3). "Bukan karena negara lain sudah melakukan kesepakatan lalu Indonesia buru-buru untuk membuat kesepakatan yang sama, kita harus menilai dan mengevaluasi kondisi terlebih dulu," kata Mahendra dalam acara ASEAN-EU Programme for Regional Integration Support (APRIS) II.
UE saat ini tengah melaksanakan perundingan dengan Singapura mulai Maret 2010 dan Malaysia mulai Oktober 2010 untuk membuat FTA dan rencananya akan menambah negosiasi dengan Brunai, Vietnam, Thailand dan Filipina. "Negosiasi untuk hal itu belum dilakukan sama sekali," tambah Mahendra seraya mengatakan bahwa Indonesia memiliki 'vission group' untuk menganalisis dan mengevaluasi langkah perekonomian Indonesia ke depan.
"Saya lebih nyaman bila kita sudah memiliki persiapan dan kemampuan baru membuat kesepakatan, tapi tentu pertemuan-pertemuan ekonomi dengan UE tetap dilakukan, misalnya dengan mengadakan ASEAN-EU Summit Meeting tingkat menteri," jelasnya.
Lebih lanjut Mahendra menjelaskan sejak krisis keuangan Eropa dan Amerika Utara yang terjadi pada 2008-2009 terjadi pergantian orientasi ekonomi global yang saat ini beralih ke negara-negara "emerging market" seperti China, India dan juga Indonesia. "Industri global tidak bisa memaksa agar konsumen di kawasan ini juga mengonsumsi produk yang sama dengan yang dijual di negara-negara Amerika Serikat atau Eropa, harus ada penyesuaian sesuai dengan pasar," tambahnya.
Karena itu menurut Mahendra, FTA ASEAN-EU membutuhkan penyesuaian-penyesuaian dan fleksibilitas karena tindakan yang diterapkan saat ini lebih berbentuk interaksi mekanisme sementara. "Asia-Europe Meeting yang ada saat ini masih sebagai konsep yang baik namun dalam prakteknya masih minimum dan perlu ditingkatkan," ujarnya.
ASEM adalah forum antarkawasan yang berdiri pada 1996 dan terdiri dari negara-negara anggota UE, ASEAN, India, Mongolia dan Pakistan. Dalam penilaiannya mengenai manfaat ASEAN Free Trade Area (AFTA) yang berlaku saat ini, juga memiliki manfaat bagi Usaha Kecil dan Menengah (UKM). "Misalnya untuk butir Rule of Origin yang menunjukkan bahwa produk tersebut dibuat di negara ASEAN, sudah 70 persen perusahaan Indonesia yang memenuhi kesepakatan tersebut dan separuhnya adalah UKM, hal ini menunjukkan UKM juga mendapat manfaat dari AFTA," jelasnya.
Menanggapi penilaian peneliti Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA), Ponciano S. Intal yang menyebutkan bahwa fasilitas untuk investor di Indonesia masih berada di bawah FIlipina, Thailand, Vietnam, Malaysia dan Singapura, Mahendra mengatakan ada dua hal yang menjadi masalah di Indonesia.
"Memang masih ada tantangan di Indonesia yaitu untuk menyediakan infrastruktur dan tata kelola perusahaan (corporate governance), namun India, Rusia dan China peringkatnya juga tidak bagus namun investor tetap datang ke sana," katanya.
Ia menekankan bahwa bukan seberapa banyak FTA yang akan disepakati di masa depan namun seberapa baik mengintegrasikan kesepakata dan Asean sudah ada. "Jangan langsung ingin buat FTA baru namun perlu mengevaluasi lebih dulu FTA yang ada," ujarnya. Indonesia hingga saat ini memiliki FTA dengan 10 negara yang tergabung dalam ASEAN dan juga FTA bilateral dengan China, Australia dan New Zealand.