REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofyan Wanandi menyatakan bahwa langkah yang diambil Bank Indonesia (BI) untuk mengurangi tekanan inflasi terlalu terburu-buru dan perlu kehati-hatian dalam manjalankan kebijakan tersebut. "BI harus berhati-hati dalam menghadapi tekanan inflasi yang terjadi saat ini," kata Sofyan, Jumat (25/2).
Dirinya menambahkan, kebijakan untuk membiarkan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS terus menguat, akan bisa menyebabkan terganggunya ekspor manufaktur di Indonesia. Sofyan mengatakan, bahwa apabila kebijakan inflasi yang diterapkan oleh BI ini dapat berdampak pada matinya industri manufaktur di Indonesia.
"Jangan terburu-buru untuk mengambil langkah, perlu kehati-hatian untuk hal ini, jangan sampai kita yang harus menanggung akibatnya nanti," kata Sofyan.
Dirinya menegaskan, untuk impor pangan ke Indonesia, sebaiknya pemerintah harus menyikapi hal ini dengan cara memperbaiki produksi, bukan dengan meningkatkan impor ke Indonesia. "Tahun 2010, pemerintah mengimpor 1,2 juta ton beras dan diperkirakan tahun ini akan mencapai 1,75 juta ton," kata Sofyan, yang mengarapkan adanya pembenahan untuk produksi pangan di Indonesia.
Dirinya juga menegaskan, Indonesia pada saat ini terlalu banyak mengimpor seperti beras, garam, dan lain-lain, yang seharusnya dapat diproduksi sendiri di dalam negeri. Namun, untuk harga minyak yang meningkat merupakan permasalahan yang berbeda, kata Sofyan. "Apalagi untuk minyak, memang harganya terus-menerus naik namun hal ini disebabkan karena situasi di negara-negara penghasil minyak di Timur Tengah dan Afrika Utara tidak stabil," tegas Sofyan.
Pada hari Kamis (24/2), BI mengambil langkah untuk meredam inflasi dengan membiarkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus menguat. Deputi Gubernur BI, Hartadi A Sarwono mengatakan bahwa BI juga tidak menentukan batas tertentu penguatan rupiah terhadap dolar AS. "Tidak ada level batasnya," katanya.
Nilai tukar rupiah sejak BI menaikkan BI rate dari 6,5 persen menjadi 6,75 persen awal Februari lalu terus menguat dari Rp 9.000 menjadi Rp 8.845 per dolar AS. Nilai tukar rupiah pada pekan ini terus berada di bawah Rp 8.900 per dolar AS dan pada Kamis ini berada di posisi Rp 8.857 per dolar AS berdasarkan kurs tengah BI.
Derasnya capital inflow yang masuk setelah naiknya BI rate membuat nilai tukar rupiah terus menguat. Hartadi juga menjelaskan bahwa tekanan inflasi ke depan akan lebih disebabkan karena inflasi barang impor seperti kenaikan harga minyak dunia dan harga pangan.