Kamis 16 Dec 2010 19:19 WIB

Pengangguran Terdidik Jadi Fenomena Mengkhawatirkan

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni UI) melihat kecenderungan semakin meningkatnya pengangguran kalangan berpendidikan tinggi belakangan ini menjadi fenomena yang semakin mengkhawatirkan. Siaran pers yang dirilis di Jakarta, Kamis, menyatakan fenomena itu terkait dengan pola pikir para sarjana yang umumnya berorientasi menjadi pegawai negeri atau karyawan swasta, padahal lapangan kerja baik di swasta dan negeri sangat terbatas dibanding angkatan kerja.

"Artinya, pendidikan di Indonesia justru melahirkan para pencari kerja baru, bukan pencipta lapangan kerja," kata Ketua Iluni UI Dr Sofyan Djalil dalam siaran pers tersebut. Sebelumnya, pada lokakarya Sofyan mengatakan menjadi wirausahawan (entrepreneur) merupakan solusi untuk mengatasi masalah pengangguran terdidik tersebut.

Pada lokakarya yang diselenggarakan Iluni UI Selasa (14/12) itu bertajuk "Peran Perbankan dan Pasar Modal Dalam Memajukan Sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) serta Mendorong Bangkitnya Enterpreneur di Indonesia". "Namun sayangnya, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang di Indonesia maka keinginan untuk menjadi wirausahawan semakin rendah," kata Sofyan Djalil yang juga mantan Menteri Komunikasi dan Informasi, sekaligus mantan Meneg BUMN itu.

Dikatakan bahwa menjadi wiraswasta yang sukses itu membutuhkan ketekunan, kerja keras dan sikap pantang menyerah. "Nah, mereka yang berpendidikan tinggi ini umumnya tidak mau 'kotor-kotor' dan biasanya lebih pilih-pilih pekerjaan. Padahal, kalau mau menjadi wiraswasta, dia harus mau 'kotor-kotor' lebih dahulu," kata dia.

Menurut Sofyan Djalil, kesediaan para sarjana untuk menekuni dunia wirausaha sangat diperlukan untuk menggerakkan perekonomian. Negara yang maju adalah negara yang memiliki banyak wirausahawannya, kata dia. Jika masalah ketersediaan modal dianggap jadi halangan kaum terdidik untuk menjadi wirausahawan, Sofyan menngatakan bahwa saat ini sebetulnya modal bukan masalah lagi karena banyak lembaga perbankan yang menawarkan kredit tanpa agunan.

Wakil Direktur Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Center FEUI Nurdin Soebari pada lokakarya itu juga menyoroti masih sedikitnya jumlah wirausaha di Indonesia, bahkan jika dibandingkan dengan negara di kawasan Asia seperti Korea, Jepang dan Filipina. Rasio jumlah pengusaha dibanding populasi penduduk yang ideal adalah 1:20 namun di Indonesia, rasionya baru 1:83 atau jumlah perbandingan pengusaha dengan populasi masih sedikit, apalagi jika dibanding dengan Korea yang mencapai perbandingan 1:20, Jepang (1:23) dan Filipina (1:63).

Bisa sukses

Dikatakan Nurdin Soebari, menjadi pengusaha memang harus sabar karena biasanya lima tahun pertama berbisnis, mengalami banyak kendala. Tetapi, jika bisa melewati tahap lima tahun pertama itu, biasanya bisa sukses, kata dia.

Seorang pembicara lainnya pada lokakarya itu, yakni konsultan bisnis dan perpajakan Waty Tjakra memberi tips sukses dalam membangun bisnis, yaitu diperlukan persiapan mental hingga strategi dan teknik manajerial pengembangan usaha, terutama untuk usaha kecil dan menengah (UMKM).

Menurut dia, membekali diri dengan ilmu berbisnis juga diperlukan agar risiko "trial and error" dalam berbisnis bisa dikurangi. Lokakarya yang berlangsung 14-15 Desember tersebut menghadirkan narasumber dari berbagai kalangan, mulai dari perbankan, pasar modal, wirausaha muda, dosen pemasaran, Hipmi hingga konsultan pajak dan konsultan bisnis.

Pada lokakarya tersebut, peserta mendapatkan materi mengubah pola pikir (mindset) dari pencari kerja menjadi pencipta kerja. Mereka juga mndapat bimbingan motivasi bisnis, mencari pendanaan, teknik membuat dan mempresentasikan bisnis, serta strategi promosi.

sumber : ant
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement