REPUBLIKA.CO.ID,BANDUNG–-Neraca Bank Indonesia (BI) cukup terseok pada 2010. ‘Keharusan’ BI melakukan intervensi pasar untuk menjaga kurs tak bergerak terlalu cepat, menjadi salah satu penyebabnya. Defisit neraca BI per Oktober 2010 telah mencapai Rp 26,006 triliun, dan diperkirakan di akhir tahun mencapai Rp 30 triliun. Posisi modal BI pun diperkirakan anjlok menjadi Rp 39 triliun di akhir tahun.
‘’Pengeluaran untuk anggaran kebijakan, termasuk operasi moneter, per Oktober 2010 telah mencapai Rp 24 triliun, sehingga total defisit per Oktober 2010 mencapai Rp 26 triliun,’’ kata Direktur Keuangan Internal BI, Harti Haryani, Selasa (30/11). Dari pengeluaran untuk anggaran kebijakan itu, biaya operasi moneter saja, sudah mencapai Rp 17,3 triliun per September 2010. Diperkirakan, hingga akhir tahun defisit ini masih akan membengkak menjadi Rp 30 triliun.
Anggaran yang dipakai untuk operasi moneter per Oktober 2010, Rp 24 triliun, memang masih lebih rendah dari pagu di anggaran tahunan BI (ATBI) senilai Rp 39,54 triliun. tapi lagi-lagi capital inflow membuat penerimaan BI justru mengalami defisit Rp 10,834 triliun pada September 2010 dan membengkak menjadi Rp 15,4 triliun pada Oktober 2010.
Defisit penerimaan neraca BI bersumber dari pos anggaran kebijakan, terkait juga dengan upaya menjaga nilai tukar rupiah seiring derasnya aliran modal masuk. Salah satunya berasal dari pengeluaran tak terduga untuk intervensi agar kurs tak berfluktuasi terlalu cepat. Terutama dari selisih harga pasar dengan average cost yang sudah ditetapkan terlebih dahulu untuk setiap mata uang asing.
Dengan besarnya biaya operasi moneter dan terjadinya defisit penerimaan itu, menyebabkan total defisit neraca BI per Oktober 2010 telah menembus Rp 26 triliun, dari posisi defisit Rp 19,765 triliun pada September 2010. Sementara, ATBI hanya memperkirakan neraca BI akan mengalami defisit RP 22,283 triliun hingga akhir tahun.
Dengan besarnya defisit neraca BI ini, permodalan bank sentral ini pun ikut terseok. Per akhir 2009, ekuitas BI tercatat berjumlah Rp 93,507 triliun. Dari angka itu, komponen modal berjumlah Rp 78 triliun. ‘’(Dengan defisit ini) modal BI di akhir tahun diperkirakan (tinggal) Rp 39 triliun,’’ kata Harti.
Implikasi dari defisit dan penurunan modal ini, papar Firli, hanya terkait dengan pemenuhan permodalan dan ketentuan peraturan perundangan. Itu pun, jika modal BI sudah //drop// ke level Rp 2 triliun.
‘’Sesuai UU BI, maka BI harus direkap Pemerintah, kalau modal (BI) di bawah Rp 2 triliun,’’ kata Harti. Ada ketentuan lain, berupa surat kesepatan bersama (SKB) yang mensyaratkan rekap Pemerintah diberikan jika posisi modal BI tinggal 3 persen dari total neraca BI.
Di luar perkembangan dinamika aliran modal, neraca BI juga masih dibebani ‘kisah lama’. Apalagi kalau bukan beban obligasi rekap, dampak kebijakan BLBI seusai krisis keuangan 1997/1998. ‘’Bunga obligasi rekap per tahun, Rp 60 triliun,’’ sebut Kepala Biro Pengembangan dan Pengaturan Pengelolaan Moneter BI Filianingsih Hendarta, Selasa (30/11).
Filianingsih mengatakan dalam perhitungan neraca BI, untung rugi bukanlah persoalan utama. ‘’Tapi kepentingan yang lebih besar bagi ekonomi Indonesia,’’ kata dia. Misalnya BI tidak melakukan intervensi untuk menjaga kecepatan volatilitas rupiah, menurut dia, penguatan rupiah pasti lebih besar. Sementara dengan intervensi berbiaya sedemikian besar, sepanjang 2010 rupiah menguat 5,5 persen.
Harti mengatakan efisiensi yang bisa dilakukan hanyalah mengelola pengeluaran rutin dan operasional. Misalnya, sebut dia, kenaikan rutin gaji pegawai tidak lagi besar-besaran. Pengeluaran operasional yang bisa ditekan, tambah dia, adalah biaya seperti untuk listrik dan air. Termasuk menaikkan suhu pengatur suhu ruangan.
‘’Untuk efisiensi, DPR mengakui BI sudah banyak melakukannya. BSBI (Badan Supervisi BI, red), juga sampai melakukan kajian khusus mengenai potensi pemborosan yang bisa ditekan,’’ kata Harti.