REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pemerintah mengakui penerbitan obligasi infrastruktur sebagai langkah mengendalikan derasnya hot money belum bisa dilakukan dalam waktu dekat.
"Obligasi infrastruktur itu, kita belum matang. Belum ada keputusan untuk menerapkannya (dalam waktu dekat)," ujar Menko Perekonomian Hatta Rajasa, saat diskusi dengan wartawan, Jumat (19/11).
Menurut Hatta, obligasi ini hanya merupakan salah satu opsi sebagai langkah untuk mengatur laju capital inflow. Karena arus modal itu tidak perlu dibatasi namun bagaimana mengalirkannya ke instrumen jangka menengah dan panjang.
"Yang penting adalah bagaimana ada instrumen jangka menengah dan panjang. Tidak hanya ke Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Utang Negara (SUN) saja. Namun bisa menerbitkan obligasi infrastruktur ini tapi harus dipikirkan matang-matang," jelasnya.
Mantan mensesneg itu mengakui kebijakaan quantitative easing yang dikeluarkan oleh Amerika serikat sebesar 600 miliar dolar memang akan membuat aliran modal masuk ke negara-negara emerging market termasuk Indonesia. Hal ini membuat rupiah semakin menguat.
Namun, menurutnya penguatan itu tidak perlu dikhawatirkan akan berdampak kepada ekspor Indonesia. Pasalnya negara-negara lain juga mengalami penguatan yang sama. "Jadi negara kompetitor kita juga mengalami penguatan, yang bermasalah kalau hanya kita saja yang mengalami penguatan," ujarnya.
Lagipula, kata Hatta, aliran modal itu merupakan suatu peluang yang cukup besar bagi Indonesia sebagai penguatan basis modal. Pemerintah pun yakin aliran modal masuk tersebut tidak akan mengalami pembalikan yang cepat (sudden revearsal). Mengingat ekonomi Indonesia yang cukup bagus dan investor melihatnya sebagai suatu pilihan.