Selasa 19 Oct 2010 04:28 WIB

RI-Australia Bangun Tambak & Pabrik Garam Rp 300 M

Rep: Shally Pristine/ Red: Djibril Muhammad

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Investor asal Australia membangun tambak dan pabrik garam di Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan kapasitas produksi 200 ribu ton per tahun dengan nilai investasi Rp 300 miliar. Wakil Menteri Perindustrian (Wamenperin) Alex SW Retraubun mengatakan, investor tersebut, Cheetam Salt, telah melakukan studi kelayakan untuk rencana investasi garam di Nagekeo, NTT.

"Mereka tertarik di lokasi itu karena ciri-ciri lingkungannya mirip dengan yang mereka miliki di Australia, hampir tujuh bulan tanpa hujan. Mereka sudah ambil sampel tanahnya. Kemungkinan kalau lancar produksi bisa dimulai akhir tahun depan," katanya dalam jumpa pers, Senin (18/10).

Saat ini, kata Alex, Indonesia masih menjadi net importer garam karena kebutuhan nasional yang jauh melampaui produksi. Saat ini, kebutuhan garam, baik untuk industri dan konsumsi, setidaknya tiga juta ton per tahun. "Produksi nasional hanya hampu menutupi kebutuhan kurang dari setengah kebutuhan itu," ucapnya.

Sementara, permintaannya terus meningkat, minimal dua persen tiap tahun. Belum lagi, perubahan iklim tahun ini telah menurunkan produksi jauh dari perkiraan awal. Karena itu, Alex melanjutkan, pemerintah tengah melakukan pemetaan terhadap titik-titik dengan potensi tinggi untuk memproduksi garam. semacam di Nagekeo. Sejauh ini, pihaknya juga sudah meninjau daerah dengan karakter serupa di Teluk Kupang.

"Di atas lahan-lahan ini bisa digenjot produksi garam sehingga kekurangan produksi garam karena iklim yang kacau bisa dikompensasi," jelasnya.

Sebelumnya, CEO Cheetham Salt Andrew Speed mengatakan, kerjasama tersebut masih dalam tahap awal, dengan kegiatan pertama berupa studi ekonomi dan teknis yang diperkirakan tuntas pada pertengahan 2011. Pada tahap awal, katanya, Cheetam Salt akan membangun tambak sebelum menentukan untuk membuat pabrik pengolahan.

Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian, Benny Wachyudi mengatakan, industri garam dalam negeri memang belum mampu memproduksi garam dengan spesifikasi teknis tertentu sehingga harus mengimpor dari negara lain, termasuk Australia.

Misalnya, industri pengolahan kertas membutuhkan soda kaustik dengan kadar natrium klorida yang tinggi sehingga harus diimpor. "Kalau tidak salah kandungan natrium kloridanya itu harus 99 persen dan kita belum bisa," ucapnya.

Sebelumnya, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag), Deddy Saleh, mengatakan, pemerintah mengeluarkan tambahan kuota izin impor garam beryodium karena turunnya volume produksi dalam negeri lebih dari 10 persen. Tambahan kuota itu untuk mencukupi tingginya permintaan garam konsumsi di dalam negeri.

"Pemerintah mengantisipasi hal itu dengan mengimpor, alokasinya ditambah lagi sebanyak 150 ribu ton untuk tahap kedua ini," katanya.

Direktur Impor Kemendag, Partogi Pangaribuan menambahkan, sebelumnya pihaknya sudah mengeluarkan izin impor tambahan tahap pertama, besarnya juga sebanyak 150 ribu ton. Sehingga, menggenapi total impor untuk tahun ini menjadi hampir 440 ribu ton. Impor tahap kedua ini, kata dia, untuk kebutuhan Oktober sampai Desember. "Kalau nanti misalnya Januari (2011) hujan terus kemungkinan (impor) ditambah karena produksi kecil sekali," ucapnya.

Partogi menjelaskan, realisasi impor tambahan tahap pertama sekitar 70 persen. Tenggat waktu impor tahap pertama ini berakhir bulan ini. Karena tingkat realisasi ini dirasakan kurang, kata dia, Kementerian Perindustrian merekomendasikan penambahan kuota impor garam. Bila produksi terus rendah, pemerintah akan kembali mengeluarkan izin impor pada Januari mendatang mengingat puncak musim panen baru tiba pada pertengahan tahun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement