REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Menyusul penarikan 10 juta unit tabung gas elpiji tiga kilogram (kg) milik PT Pertamina (Persero) akibat tidak berbandrol Standar Nasional Indonesia (SNI), Badan Usaha Milik Negara (BUMN) minyak dan gas ini harus merogoh kocek Rp 1,7 triliun untuk menggantinya.
"Tabung gas yang diganti itu tabung gas elpiji kemasan tiga kilogram yang tidak memiliki SNI," kata Deputi Industri Strategis Kementerian BUMN, Irnanda Lhaksanawan di Jakarta, Senin (18/10).
Menurutnya, langkah penggantian tabung gas tersebut merupakan konsekuensi yang harus dilakukan Pertamina. Oleh sebabnya, perusahaan migas pelat merah tersebut harus merevisi target labanya pada tahun ini. "Jadi (penggantian tabung ini) merupakan konsekuensi bagi Pertamina. Mereka harus mengeluarkan kocek untuk mengganti tabung-tabung gas tersebut," lugasnya.
Seperti diketahui, Pertamina terpaksa merevisi target laba bersihnya dari Rp 25 triliun menjadi Rp 16,2 triliun. Hal ini dikarenakan adanya perubahan asumsi nilai tukar rupiah dan kewajiban penambahan kuota penyaluran Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. Sehingga, mau tidak mau laba bersih Pertamina diperkirakan meleset dari target awal Rp 25 triliun.
Irnanda menjelaskan, dalam Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP) Pertamina disebutkan asumsi nilai tukar rupiah sebesar Rp 9.200. Namun, hingga saat ini nilai tukar rupiah ternyata berada pada kisaran Rp 8.800-Rp 9.000 per dolar Amerika Serikat (AS).
"Selain itu, kondisi makro ekonomi juga sangat mempengaruhi laba Pertamina. Di sektor hulu Pertamina memang mampu meraup laba sebesar Rp 19 triliun. Tetapi, di sektor hilir, Pertamina akan mengalami rugi sebesar Rp 6,6 triliun, belum lagi adanya kerugian elpiji sebesar Rp 2,9 triliun," jelas Irnanda.
Seperti diberitakan sebelumnya, Pertamina telah mengajukan usulan revisi target laba mereka untuk tahun ini. Direktur Utama Pertamina, Karen Agustiawan mengungkapkan target laba bersih sebesar Rp 13,3 triliun merupakan nilai paling optimal untuk mencapai target revisi laba tahun ini.Usulan itu sudah memperhitungkan kerugian eksternal perseroan yang dialami pada tahun ini. Ia mengungkapkan besaran laba tidak mungkin ditingkatkan lagi jumlahnya.
"Laba segitu (Rp 13,3 triliun) itu kan dengan memperhitungkan faktor eksternal. Tidak mungkin lagi ditambah. Mau dari mana (penambahan dananya). Sebetulnya keuntungan (laba) Pertamina Rp 19,9 triliun dari hulu, itu sudah optimal, mau tambah dari mana. Kalau misalnya tidak rugi pun, break event-nya nol, kita jadi Rp 19,9 triliun. Tapi karena rugi jadi tergerus keuntungannya," tuturnya.
Menyusul adanya usulan revisi target laba bersih Pertamina, Menteri BUMN, Mustafa Abubakar menuturkan pihaknya akan mengevaluasi penyebab tidak tercapainya target laba bersih tersebut. Dia menjelaskan Kementerian BUMN akan mengkaji sektor mana yang bermasalah sehingga Pertamina harus merevisi target laba bersihnya.
"Saya belum memutuskan. Kita masih mempelajarinya. Siapa tahu ada peluang untuk ditingkatkan sedikit lagi," kata Mustafa.