REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Imbauan pemerintah untuk mengurangi konsumsi beras mendorong terjadinya diversifikasi pangan. Namun saat ini diversifikasi pangan pun dinilai nyaris tidak berhasil karena angka konsumsi beras penduduk Indonesia cukup tinggi dibanding negara lainnya, seperti Jepang dan Malaysia.
“Diversifikasi pangan nyaris tidak berhasil karena konsumsi beras penduduk Indonesia 139 kilogram per kapita per tahun, jauh lebih tinggi dari negara seperti Jepang yang 60 kilogram per kapita per tahun dan Malaysia 90 kilogram per kapita per tahun,” ujar pengamat pertanian, Khudori, Kamis (14/10).
Agar rencana pengurangan konsumsi beras dapat berjalan, lanjut Khudori, pemerintah pun hendaknya langsung melakukan implementasi yang riil dengan menyediakan sumber karbohidrat lainnya, seperti umbi-umbian menjadi produk yang murah dan terjangkau. “Jika pemerintah bisa menyediakan pangan yang terjangkau di mana saja, murah, promosinya kencang dan produknya baik saya yakin bisa diversifikasi. Tetapi jika syaratnya tak dipenuhi, maka nonsense diversifikasi pangan bisa berjalan,” papar Khudori.
Dengan menyediakan beragam produk pengganti beras yang terjangkau, tambah Khudori, hal tersebut pun tak akan membuat masyarakat terbebani. Ia mengungkapkan, agar pangan kembali terdiversifikasi setidaknya dibutuhkan waktu antara 20-30 tahun jika pemerintah konsisten dalam melakukan diversifikasi. Ia mengacu pada pergeseran diversifikasi yang terjadi pada masa di tahun 1956-1980.
Khudori memaparkan pada 1956 pangsa beras dalam struktur pangan keluarga sekitar 56 persen. Namun setelah swasembada beras tercapai pada 1984 penduduk Indonesia hampir tergantung mutlak pada beras dengan pangsa 90 persen.
Khudori menuturkan, saat ini terigu menjadi pangan nomor dua di Indonesia setelah beras. Padahal negara ini masih mengimpor gandum yang menjadi bahan baku terigu. Menurut Khudori, terigu kini menjadi substitusi beras karena memiliki promosi luar biasa, harga terjangkau dan mudah diperoleh.
Khudori mengatakan jika terigu bisa diganti dengan sumber daya lokal sumber karbohidrat lainnya, seperti umbi-umbian, maka perputaran uang di dalam negeri akan luar biasa. Pada 2008 impor gandum Indonesia mencapai Rp 22 triliun.