Senin 04 Oct 2010 04:41 WIB

Pasar Ritel Imbangi Kepemilikan Surat Utang Asing

Rep: Teguh Firmansyah/ Red: Djibril Muhammad

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pemerintah akan meningkatkan penerbitan surat utang negara ritel (sukuk ritel atau obligasi ritel indonesia) guna mengimbangi kepemilikan asing terhadap surat berharga negara. Tidak hanya itu, penerbitan surat utang bertenor jangka panjang akan lebih diutamakan guna menyeleksi pemodal asing yang masuk ke dalam negeri. 

Demikian disampaikan Direktur Jenderel Pengelolaan Utang, Rahmat Waluyanto ketiak ditemui Republika di kantornya pekan lalu. "Ke depan akan lebih banyak yang akan diterbitkan, jadi kita memperkuat dan memperluas sektor dalam negeri untuk mengimbangi investor asing yang masuk," ujarnya.

Menurut Rahmat pasar ritel kini terus berkembang. Dengan mengembangkan pasar ini akan semakin banyak pemain dalam negeri yang bermain di surat utang. Sementara asing sendiri dibatasi pada pasar ritel ini. "Jadi semakin berkembang pemain dalam negeri akan semakin banyak dan mengimbangi investor asing dan itu kan orang asing gak boleh disana," terangnya. 

Sekedar catatan, kepemilikan asing terhadap surat utang negara terus meningkat. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementrian Keuangan Kepemilikan asing per 27 September 2010 sudah mencapai 28,18 persen atau sekitar Rp 180 triliun dari total SBN tradable (dapat diperdagangkan) sebesar Rp 642 triliun.

Upaya menjaga kepemilikian asing, lanjut Rahmat, juga dilakukan dengan lebih memprioritaskan penerbitan surat utang bertenor jangka pangjang, 10 atau 20 tahun. Dengan demikian akan ada seleksi alam investor asing yang masuk ke Indonesia. Mereka tidak mudah tergoda oleh shock di market. 

"Jadi mereka apapun tidak akan keluar, jadi dengan strategi jangka panjang itu yang masuk tertentu. Selama ini spekulan sudah sangat sedikit bahkan sudah tidak ada atau sudah keluar," tutur Rahmat. 

Dijelaskan Rahmat surat utang jangka pendek dibatasi tidak terlalu banyak, karena risikonya menjadi lebih tinggi. Rahmat menjelaskan langkah lain, asalah satu adalah dengan menjaga penarikan besar-besaran pada surat utang yakni dengan mengembangkan pasar repo. 

Istilah repo digunakan bagi investor yang kekurangan likuiditas tapi masih tetap ingin memegang surat utang yang dimilikianya. Mereka bisa datang ke Bank Indonesia dan menggadaikan surat utangnya tapi tetap dapat ditebus ulang. 

"Sebelum ada repo mareka jika ada krisis mereka langsung jual-jual aja gitu. Sekarang mereka tidak perlu, jadi lebih menciptakan rasa aman di pasar, jadi cukup di repo tidak perlu di dum (di lepas), kalau di dum itu bahayanya harga sun semua menjadi turun," paparnya. 

Menurut Rahmat, meningkatnya kepemilikan asing dalam surat berharga negara lebih disebabkan oleh faktor fundamental ekonomi Indonesia yang cukup kuat. Hal ini dibuktikan dengan membaiknya peringkat utang Indonesia. Seperti Jepang yang sudah memasukan Indonesia dalam Investment Grade. Kemudian pengelolaan fiskal maupun  moneter yang semakin prudent. Defisit ditekan supaya tidak lebih dari 3 persen sesuai dengan undang-undang keuangan negara.

Dari faktor eskternal, krisis utang yang melanda Eropa serta pertumbuhan Amerika yang lambat membuat investor lebih memilih menanamkan modalnya ke emerging market termasuk Indonesia. Krisis itu membuat bank sentral dinegera-negera itu akan menahan tingkat suku bunganya pada level yang rendah. Karena masih ada stimulus untuk mendorong ekonomi supaya perusahaan bisa meminjam biaya dengan murah. 

"Investor-investor yang masih punya uang di Amerika mereka lalu akan masuk ke emerging market yang fundmental ekonominya kuat, seperti Indonesia karena Surat Berharga kita masih memberikan yield yang menarik," kata dia. 

Memang jika dibanding US Treasury tingkat bunga surat berharga negara Indonesia masih cukup besar. Namun ini jauh lebih bersaing jika dibandingkan dengan bunga Bank. "Yang 10 tahun saja sudah sangat relatif murah sudah 7,8 persen dibawah Bank yang diatas 11 sampai 12 jadi sangat relatif rendah," terangnya. 

Untuk menjaga konfiden pasar ini maka pemerintah akan berupaya untu ktidak mengeluarkan kebijakan kebijkaan tidak ramah terhadap pasar, seperti memberikan perlakuan yang berbeda terhadap investor tertentu. Adapun soal kemampuan cadangan devisa Indonesia tidak perlu diragukan lagi. Menurut Rahmat kalau pun terjadi pull out oleh investor asing cadangan yang ada saat ini masih cukup untuk mengantisipasi. 

"Jika terjadi krisis jika ada pull out di surat berhaga negara itu tidak akan banyak, karena banyak yang jangka panjang, lagi pula cadev kita kan cukup banyak lebih dari 81 miliar dolar As," paparnya.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement