REPUBLIKA.CO.ID, REMBANG--Pengusaha garam konsumsi di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, akhirnya mendatangkan bahan baku dari Australia menyusul kegagalan panen petani garam setempat dan minimnya persediaan garam di sejumlah daerah di Pulau Madura. "Bahan baku atau garam lokal bisa dibilang sudah langka akibat kegagalan panen para petani garam. Apalagi pasokan garam dari sejumlah daerah di Pulau Madura juga semakin menipis," kata seorang pemilik perusahaan garam di Rembang, Selasa sore.
Dia juga mengatakan, jika memilih bertahan dengan keterbatasan bahan baku lokal, perusahaannya akan terus menerus tutup. Oleh karena itu, kata dia, memesan garam dari Australia menjadi pilihan terakhir menyikapi keadaan ini. "Saat ini kami hanya memiliki pasokan garam grosok lokal 1.500 ton. Padahal kebutuhan bahan baku per hari mencapai 100 ton. Kami nekat melakukan impor agar perusahaan bisa terus beroperasi," katanya.
Dia menyebutkan, pihaknya sudah mengirimkan pemesanan awal atau 'drop order' sebanyak 100 ton garam dari Australia. "Meskipun demikian, kami tetap terus berburu bahan baku di sentra garam di Jawa dan Madura," katanya.
Menurut dia, harga garam grosok dari Madura dan Australia relatif sama.
"Harga garam grosok asal Madura yang sebelumnya dipatok Rp 1.000/kg kini berangsur turun hingga Rp850/kg. Sementara harga garam dari Australia masih berkisar pada Rp800/kg," katanya.
Ketua Klaster Garam Kabupaten Rembang, Rasmani, menyebutkan, impor bahan baku garam memang diperbolehkan sejauh ada izin dari asosiasi pengusaha garam sebab sampai 2010 Kabupaten Rembang masih satu asosiasi dengan pengusaha garam di Kabupaten Pati. "Kebutuhan bahan baku untuk empat perusahaan garam di Kabupaten Rembang memang cukup tinggi sehingga jika pasokan garam lokal sudah tak mampu memenuhi kebutuhan, tentu bisa dibenarkan jika impor menjadi pilihan terakhir," katanya.
Data Dinas Perikanan dan Kelautan Rembang menyebutkan, akibat kemarau 'basah' seperti sekarang, produksi garam pada 2010 tidak bakal bisa menyamai produksi pada 2009 yang mencapai 145.733 ton.
Pada 2009 petani bisa menikmati produksi sampai tujuh bulan sejak Mei hingga November. Sementara pada 2010 petani hanya menikmati produksi satu bulan atau pada pertengahan Agustus sampai pertengahan September. Itu pun kurang dari 3.000 ton.